Senin, November 25, 2024

Top Hari Ini

Terkini

Esai Juwendra Asdiansyah: Bangkit Indonesia, Jangan Terserah

Ajakan untuk kebangkitan Indonesia dan tak ada kata terserah dalam melawan wabah. | Dokumentasi

INDONESIA terserah beredar massif sepekan ini di berbagai lini media sosial. Di Twitter, tagar #indonesiaterserah bahkan sempat menjadi trending topic.

Ia awalnya digaungkan kalangan petugas medis-tenaga kesehatan. Pemicunya, foto-foto kerumunan di McD Sarinah, Jakarta, dan di Bandara Soekarno-Hatta, beberapa hari sebelumnya.

Indonesia terserah sejatinya adalah teriakan, ungkapan kesal, mungkin frustrasi, para tenaga kesehatan melihat masyarakat yang ngeyel, mbalelo, tidak patuh dengan berbagai imbauan.

Masyarakat yang tetap berkerumun untuk aneka alasan, ngotot mudik dengan berbagai cara dan siasat, mengabaikan protokol kesehatan yang semestinya dibekap erat-erat.

Masyarakat yang seolah tak peduli, cuek, seperti tak serta dalam barisan besar memerangi pandemi Covid-19 yang entah kapan berakhir.

Petugas medis mangkel. Saya maklum, sangat maklum.

Mereka juga kesal melihat kebijakan pemerintah yang berubah-ubah, cenderung tidak istikamah, saling bertubrukan satu sama lain.

Satu kali tampak menghambat. Tapi kali lain seolah memberi karpet merah bagi penyakit ini untuk terus melenggang.

Tenaga kesehatan meradang. Saya paham, sungguh paham.

Berbulan-bulan berjibaku, bertarung, melayani dengan risiko hidup dan mati, mereka letih, bosan, sedih. Mereka rindu untuk pulang, berkumpul dengan keluarga, memeluk anak, istri, suami terkasih.

Sementara di luar sana, semua seperti biasa-biasa saja. Normal-normal saja. Bukan _new normal_, ini _old normal_. Kehidupan yang wajar seperti masa corona-Covid-19 belum datang bertamu.

Medan pertempuran seolah hanya rumah sakit, atau kantor gugus tugas. Di luar itu, pandemi bagai tontonan. Ia tak ubahnya film perang yang seru, menegangkan, mengharu biru, sarat drama dan air mata. Tapi, semuanya fiksi, imajinasi, tak benar-benar nyata.

Wajar jika dokter, perawat, marah. Sangat wajar.

Namun, kemudian, dari kamar-kamar isolasi, dari ruang-ruang IGD rumah sakit, Indonesia terserah merambat ke jalan-jalan, kafe, rumah, lalu beranak pinak dengan cepat di media sosial.

Sekonyong-konyong banyak orang berteriak terserah, Indonesia terserah. Mereka tiba-tiba ikut resah, gundah, marah…terserah! Entah untuk apa, entah kepada siapa. Pokoknya terserah.

Sampai di sini, saya berhenti untuk maklum.

***

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesa, terserah bermakna dua hal. Pertama, sudah diserahkan (kepada); pulang maklum (kepada); tinggal bergantung (kepada). Dan kedua, masa bodoh.

Merujuk KBBI ini, “terserah” dalam tagar Indonesia terserah lebih dekat kepada makna “masa bodoh”. Maka Indonesia terserah serupa dengan “Indonesia masa bodoh”.

Lalu, simaklah episode selanjutnya dari Indonesia masa bodoh yang viral itu: jalan padat menggeliat, pasar membeludak, mal sesak. Hanya masjid-musala yang setia dalam sepi.

Kian dekat Lebaran, pergerakan manusia menjadi-jadi. Dalam dua hari terakhir saja, lebih satu juta orang meninggalkan Jakarta ke berbagai tujuan. Entah mudik, entah cari asik.

Manusia bergerak bersama corona yang terus meruyak. Kerinduan, ketakutan, kesombongan, ketidakpedulian dan kebodohan, berkelindan dalam selubung yang sama: mudik.

Tak perlu bingung melihat grafik Covid-19 menanjak. Kemarin, 21/5, Korban meninggal sudah 1.278 orang. Jumlah positif terinfeksi mencapai 20.162. Terjadi penambahan 973 pasien baru, hampir 1.000 orang dalam sehari. Jumlah kasus harian tertinggi.

Ini belum Lebaran—hari nan fitri di mana jutaan manusia bergerak dari satu rumah ke rumah lainnya untuk bersilaturahmi, sebuah ritual khas Nusantara dari generasi ke generasi.

Mungkin pandemi membuat halal bihalal Lebaran ini tak semeriah tahun-tahun lewat. Tapi, melihat tetap ramainya jalan, pasar, dan mal, rasanya akan banyak saja yang merasa Idul Fitri ini “biasa saja”, mengabaikan segala imbauan agar membatasi silaturahmi hari raya.

***

Dunia, Indonesia, kita, sedang berperang. Musuh utamanya cuma satu: Covid-19. Penyakit ini menghajar semua kasta, strata sosial, suku bangsa, usia, jenis kelamin, aliran politik, dan agama. Tak peduli siapa Anda, corona bisa datang tanpa disangka.

Ini perang kita semua. Saya, Anda, kita semua dalam barisan yang sama. Tak satu pun manusia di kolong langit yang luput dari peperangan ini.

Semua orang (mestinya) punya peran. Semuanya penting, meski sekadar berdiam di rumah.

Dalam perang, cuma dua kemungkinan: menang dan kalah. Rasanya tidak ada orang yang mau kalah. Semua ingin menang.

Untuk menang, perlu senjata terbaik. Namun, vaksin, senjata terbaik itu, belum ditemukan. Entah kapan.

Dalam situasi ini, maka ikhtiar terbaik adalah membangun benteng, memperkuat pertahanan diri, sembari menunggu senjata terbaik, untuk kemudian menyerang balik.

Sebisanya tak keluar rumah, pergi hanya untuk hal yang penting, memakai masker, acap mencuci tangan, menghindari dan tidak membuat kerumunan, adalah ikhtiar-ikhtiar terpenting untuk membangun benteng yang kuat. Dan itu, mestinya hajat semua orang.

Anda yang bukan tenaga kesehatan, berteriak terserah, maksudnya apa? Apa yang Anda lakukan setelah latah menulis kata terserah dengan huruf tebal?

Tak lagi pakai masker? Tak lagi jaga kebersihan? Berhenti cuci tangan? Ramai-ramai ke mal? Kembali kongko dengan kawan-kawan? Mudik? Apa?

Anda marah kepada siapa? Pemerintah? Presiden Jokowi yang Anda sebut plin-plan dan plongak-plongok?

Jikalah benar pemerintah zalim dengan rupa-rupa kebijakannya, kalaulah benar Jokowi bodoh, membuat rakyatnya semakin susah, membuat Covid-19 semakin menggila, maka sikap terserah Anda mungkin saja sinonim dari kebodohan dan kezaliman itu sendiri.

Anda marah karena menilai kelonggaran dari pemerintah telah memberi jalan bagi banyak orang untuk berkeliaran dan berpergian. Tapi justru atas nama terserah, Anda pun ikut berpergian dan berkeliaran!

Anda mangkel, menilai jerih payah, pengorbanan, keringat, air mata, bahkan nyawa para tenaga kesehatan diabaikan. Tapi Anda sekadar diminta memakai masker pun masih saja membantah.

Anda kesal karena imbauan di rumah saja telah membuat hidup menjadi susah. Pengusaha bangkrut, PHK di mana-mana, pengangguran meledak, kemiskinan menjadi-jadi. Tapi, selain merutuk tak habis-habis, menulis status-status umpatan sambil berjemur di tepi kolam renang rumah Anda yang mewah, Anda berbuat apa?

***

Dua hari lalu, 20 Mei, bangsa ini, bangsa INDONESIA, bukan bangsa +62, memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Hari di mana kita mengenang betapa hebatnya perjuangan para pendiri bangsa melahirkan Indonesia.

Tjipto Mangoenkoesoemo, Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo, lalu Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan banyak lainnya, adalah manusia-manusia pecinta Indonesia yang bukan hanya pintar, namun juga tangguh dan bermental baja. Mereka adalah orang-orang yang tak mengenal kata terserah dalam kamus hidupnya.

Bangsa ini tak akan merdeka jika bapak-bapak bangsa bermental terserah. Negara ini hanya ilusi jika pada satu waktu Bung Karno dengan penuh kesal berpidato:

“Wahai para penjajah! Mau kalian apa? Disuruh pergi, tak juga hengkang. Kami lawan, tetap menyerang. Diajak berunding, malah khianat. Suka-suka kalian lah, Belanda. Basing-basing elu lah, Jepang. Terseraaahhh..!”

Berbelas-berpuluh tahun para pejuang hidup susah, menderita, bersimbah darah, kelaparan, diasingkan, dipenjara, sakit dan mati hanya demi bangsa ini merdeka.

Dari kuburnya, para pendiri bangsa mungkin bakal menangis melihat manusia Indonesia hari ini, yang tidak merasakan pahitnya hidup terjajah, malah menjadi “generasi terserah”. Generasi yang seenaknya mengubah pekik heroik “Indonesia merdeka” menjadi teriakan cemen “Indonesia terserah”.

Alangkah malunya kita, mengecap manisnya kemerdekaan yang direbut lewat perjuangan ratusan tahun, dengan sikap terserah hanya karena tak sanggup melawan wabah yang setengah tahun pun belum.

Kita sedang dan masih berperang. Seraya merapal doa semoga _pagebluk_ ini segera berakhir, kita pun harus bersiap jika perang ini tak juga usai dalam waktu dekat.

Kita tak mau kalah. Diajak berdamai pun, banyak yang menolak. Artinya tak ada pilihan selain terus berperang dengan hanya satu tujuan: menang!

Untuk itu, semua orang harus setia dalam barisan. Tak boleh pergi. Tak boleh terserah. Jangan sekali-kali “tinggal glanggang colong playu“.

Bukan sikap seorang patriot, tak mau kalah, tak mau berdamai, hanya mau menang, tapi malah pergi meninggalkan medan pertarungan seraya teriak, “terserah!”

Perang ini harus dimenangkan. Tak ada kemenangan yang didapat dengan terserah. Terserah itu, masa bodoh itu, lebih dekat dengan kekalahan. Terserah hanya milik mereka yang kalah.

Terserah, sama halnya menyerah. Menyerah adalah kalah.

Indonesia terserah harus dilawan. Sikap masa bodoh, dan semua hal buruk yang merusak barisan, adalah musuh yang nyata. Hanya ada satu kata: lawan!

Ayo bangkit.
Kepalkan tanganmu.
Angkat tinggi-tinggi.
Berteriaklah.
Saya Indonesia.
Saya bisa.
Bangkit Indonesia,
jangan terserah!

(Kota Baru, 22 Mei 2020)

Populer Minggu Ini