Senin, Desember 16, 2024

Top Hari Ini

Terkini

Opini: Antara Phalawan, Pahlawan, dan Bolot Hakiki

Ilustrasi. | Ist.

Phala dalam bahasa asalnya yaitu Sanskerta memiliki arti buah. Kemudian bermakna hasil atau manfaat. Hal yang bermanfaat tentu memiliki kebaikan. Maka dari pemaknaan phala kemudian muncul kosakata pahala yang berarti ganjaran kebaikan.

Dalam perkembangannya kata phala diserap dalam bahasa Indonesia menjadi pahlawan. Gabungan dari dua kata Sanskerta yaitu phala dan wan. Wan merupakan penegasan, memiliki arti “orang yang.”

Jika diterjemahkan secara etimologi kata pahlawan memiliki arti orang yang memiliki buah kebaikan atau manfaat.

Dengan demikian, bila merujuk dari sudut etimologi setiap orang yang memiliki manfaat merupakan phalawan, yang kini dikenal pahlawan.

Saya lebih cocok dengan makna pahlawan dari bahasa induknya ketimbang definisi yang diberikan Kementerian Sosial.

Kita orang Indonesia acap kali mengesampingkan makna dari sebuah kata. Tak salah bila beberapa orang sering melontarkan kata sebatas gincu komunikasi, tanpa mau memahami isi. Bukankah makna merupakan hasil perenungan? Sementara perenungan adalah proses untuk mencari kebenaran yang substantif.

Jangan kaget bila di negara ini orang sering sekali memperebutkan gelar demi memperoleh pengakuan. Ia seolah ingin ditegaskan sebagai orang yang paling berhasil, kemudian paling berjasa. Sehingga tanpa malu ingin disebut pahlawan.

Saya justru lebih suka menyebut orang dengan perilaku belakangan sebagai bolot. Bolot yang berarti budek atau tuli, secara makna merupakan sifat tidak mau tahu sehingga tindak tanduknya seringkali tak nyambung. Betapa tidak, ada pemimpin yang mengejar penghargaan keren semisal Adipura dan lain sebagainya, kemudian mendirikan macam-macam bangunan dan monumen hebat, tapi mengesampingkan kesejahteraan ekonomi rakyatnya. Ya bolot kan namanya!

Kita, terutama saya sendiri sering lupa, bahwa pahlawan secara makna merupakan tindakan vertikal. Yaitu perbuatan yang dituju semata-mata karena ingin memperoleh ganjaran kebaikan dari langit karena memberi manfaat. Bukan medali, juga piagam dan sertifikat yang bertumpuk-tumpuk.

Sebut saja Kiai Hanafiah. Pahlawan besar dari Sukadana, Lampung Timur. Masyhur dengan kisah Laskar Golok. Saya berbicara dengan cucunya. Dia, Kiai Hanafiah, berjuang semata-mata karena ingin memerangi kejahatan kemanusiaan yang dibenci agamanya, dengan harapan masuk surga.

Mari kita bersama mencocoki tidakan sang kiai dengan makna phalawan itu. Sesuai, karena ia bertindak dengan hakikat, bukan gincu. Berbeda motif dengan beberapa kepala daerah dan pejabat negara di sekitar kita. Bayangkan, saking  pahlawannya pejabat kita, mereka bahkan rela membeli penghargaan dari lembaga sosial entah tentang kebersihan, pengentasan kemiskinan, kota terini, kota teritu dan lain sebagainya. Bolot yang hakiki.

Saya tidak ingin larut dalam definisi. Tetapi pahlawan ialah phalawan. Siapa pun ia, apa pun latar belakangnya, sepanjang termotivasi dan sukses menjadi manusia yang memberikan manfaat demi kemanusiaan, dengan harapan pahala dari Sang Maha Esa maka ia adalah pahlawan.

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni).(*)[Arif Surakhman]

(Penulis adalah Pemimpin Perusahaan PT Jejamo Media Mandiri)

Populer Minggu Ini