Jejamo.com, Tanggamus – Massa aksi gabungan mahasiswa, ormas, dan masyarakat berorasi di depan Pengadilan Negeri Kota Agung, Kamis, 5/10/2023. Mereka menutut pembatalan eksekusi lahan perumahan.
Koordinator lapangan aksi tersebut, Dauri Ruansyah, mengatakan, ada 6 poin tuntutan mereka yaitu pertama meminta PN Kota Agung untuk membatalkan eksekusi. Kedua, mendorong PN Kota Agung mencari atau membuktikan fakta sertifikat tanah milik saudara Sakrani selaku penggugat. Ketiga mendorong PN Kota Agung meninjau kembali putusan MA yang telah ditetapkan.
Kemudian keempat meminta PN Kota Agung menjelaskan klarifikasi dalam putusan MA, kelima menerangkan berkas jawaban memori kasasi yang diterima kepaniteraan PN Lamongan, dan keenam meminta PN Kota Agung menyampaikan ke MA tentang tuntutan massa aksi.
“Apabila tuntutan massa aksi mahasiswa, LSM Pekad, dan masyarakat Pekon Negeri Ngarip menggugat tidak ditindaklanjuti selama 7 hari ke depan, maka kami pastikan akan turun kembali dengan aksi massa yang lebih besar,” imbuhnya.
Dijelaskan Dauri, sengketa yang terjadi bermula dari lahan bangunan yang dijadikan tempat tinggal Cik Umar dan Hasbulloh selama puluhan tahun digugat di PN Kota Agung oleh saudara Sakrani Yusuf pada 2014 lalu. Pada 31 Maret 2015, putusan PN Kota Agung menolak tuntutan penggugat.
Kemudian penggugat melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Tanjungkarang. Pada putusannya 6 Oktober 2015 PT Tanjungkarang membatalkan putusan PN Kota Agung 31 Maret 2015 dan mengabulkan gugatan penggugat.
“Tidak patah arang, kalah pada sidang banding, tergugat melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA) namun pada 26 Juli 2016 MA menolak permohonan kasasi, dan menguatkan putusan banding di Pengadilan Tinggi Tanjungkarang,” jelas Dauri kepada Jejamo.com.
Sementara itu, hakim Trisno didampingi Juru Bicara PN Kota Agung, menerima dan menampung tuntutan warga dan akan mengkomunikasikan ke atasan, seraya meminta massa aksi untuk menjadwalkan ulang penyampaian tuntutan langsung dengan Ketua PN Kota Agung. Terkait tuntutan massa aksi untuk melakukan penandatangan nota kesepahaman, pihak pengadilan tegas menolak.
“Pada prinsipnya PN Kota Agung ini netral dalam melayani masyarakat. Kalau putusan itu dirasa cacat hukum, kami menyarankan keluarga tergugat untuk melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) dengan menyiapkan dan melengkapi bukti-bukti,” jelasnya.(*) (Zairi)