Jejamo.com, Tanggamus – Peraturan Bupati Tanggamus Nomor 19 Tahun 2024 tentang pedoman kerja sama publikasi antara Pemerintah Daerah dengan media massa menuai kontroversi. Aturan yang dinilai merugikan hak wartawan ini memicu perlawanan dari kalangan jurnalis di Tanggamus.
Aksi penolakan tersebut akan disampaikan melalui audiensi Sekretariat Bersama (Sekber) Wartawan Tanggamus dengan Penjabat (Pj) Bupati Tanggamus pada Selasa, 10 Desember 2024, pukul 09.00 WIB.
Ketua DPC Ruang Jurnalis Nusantara (RJN) Tanggamus, Zairi, menilai bahwa Perbup yang ditandatangani oleh Pj Bupati Mulyadi Irsan dan mantan Sekda Tanggamus Hamid Heriansyah Lubis ini telah mengabaikan semangat kebebasan pers sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Zairi menjelaskan, salah satu pasal yang menjadi sorotan adalah Pasal 8 Ayat (2) yang mensyaratkan media cetak dan online memenuhi kriteria seperti data oplah, usia situs web, jumlah pengunjung, serta halaman khusus Kabupaten Tanggamus. Selain itu, Pasal 13 mengatur mekanisme pembayaran media yang bergantung pada hasil verifikasi pihak ketiga melalui aplikasi online, dengan besaran pembayaran merujuk pada standar satuan harga Pemkab Tanggamus.
“Saya melihat penerbitan Perbup ini tergesa-gesa karena tidak melibatkan perwakilan forum media massa yang ada di Tanggamus,” tegas Zairi, Senin, 9/12/2024.
Setidaknya ada lima poin sikap Sekber Wartawan Tanggamus menanggapi Perbup tersebut, yakni:
Pertama, menolak Perbup Nomor 19 Tahun 2024: Aturan ini dianggap tidak berpihak pada wartawan dan bertentangan dengan kebebasan pers yang dijamin undang-undang.
Kedua, menolak mekanisme langganan satu pintu: Kebijakan pembayaran melalui Dinas Kominfo dinilai tidak transparan dan mengabaikan keterlibatan seluruh Satuan Kerja Perangkat Daerah (Satker).
Ketiga, menolak penggunaan aplikasi e-Katalog dan penunjukan rekanan tertentu: Aplikasi tersebut dianggap membatasi akses media untuk berpartisipasi secara adil.
Keempat, mendesak pengembalian anggaran media dalam APBD Tanggamus 2025: Pemangkasan anggaran sebesar Rp 2 miliar dianggap mengancam keberlangsungan media lokal.
Lalu, kelima, menolak keberadaan media “titipan” pejabat: Media yang diduga dikendalikan oleh oknum pejabat dinilai mengancam profesionalisme dan independensi pemberitaan.
“Melalui poin-poin ini, kami berharap pemerintah daerah dapat mengedepankan transparansi, profesionalisme, dan kebebasan pers yang dijamin undang-undang,” pungkas Zairi. (*)