Jejamo.com, Pesawaran – “Tak tik tak tik.” Alat tenun kayu usang terdengar bising di ruangan 5 x 6 meter. Semua jarinya sibuk menari di atas alat tenun. Matanya yang indah terus konsentrasi ke arah rajutan benang-benang yang tersusun indah.
Benang demi benang menembus sisi ke sisi alur rajutannya sampai menimbulkan sebuah helaian yang lembut bersama eloknya warna-warni sehelai demi sehelai yang terus memanjang hingga menjadi kain selendang tapis yang terlihat indah.
Anjungan Aprita, gadis muda berusia 20 tahun ini sering disapa Anjung. Ia lahir di Keagungan Ratu, Pesawaran, pada 14 April 1995. Ia masih berstatus mahasiswi perguruan tinggi negeri Islam semester V.
Anjung juga mempunyai keahlian menenun kain tapis yang juga sebagai salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung. Ia belajar menenun tapis sedari 7 tahun saat di bangku sekolah dasar.
Awalnya, ia sering melihat orangtua yang memang bekerja menenun kain tapis. Lama-kelamaan ia pun ingin seperti orangtuanya yang bisa menenun kain tapis yang indah.
Ia meminta ibunya untuk diajarkan menenun. “Awalnya memang sulit, tapi lama-kelamaan setelah terbiasa terasa mudah. Bahkan menyenangkan merajut benang-benang demi benang menjadi kain yang indah,” ujarnya sambil bercanda kepada jejamo.com, Selasa, 29/12/2015.
Kini dengan keahlian menenun sedari kecil, ia memanfaatkan waktu luangnya untuk menenun dibandingkan menghabikan waktu luang yang kosong. Tetapi, ia juga tidak melupakan kewajibannya menjadi seorang mahasiswi, yaitu tetap belajar dan tidak pernah telat saat ada tugas kuliah.
Saat ia masih SD sampai SMA ia membuat kerajinan tapis hanya di rumah sembari membantu orangtuanya. Baru saat kuliah, dikembangkan lagi bakatnya dan juga banyak orang yang tahu kalau ia bisa menenun. ”Selain hobi saya juga ingin melestarikan kain khas Lampung ini,” ujar Anjungan.
Karena tidak semua orang khususnya anak muda zaman sekarang bisa membuat sendiri kain tapis ini. Setiap harinya di saat waktu senggang jari-jari lentiknya menenun benang-benang menjadi sebuah tapis selendang.
Dari hasil rajutannya yang sudah menjadi selendang tapis, ia bisa membuatnya menjadi kerajian yang lain juga. Seperti dompet, baju, dan yang lain-lain.
Hasil rajutan ia jual kepada teman-temannya dititipkan di toko langganan keluarganya di depan Pasar Bambu Kuning, Bandar Lampung. Ia menenun kain tapis sampai menjadi selendang membutuhkan beberapa lama.
Kadang ia kerjakan di kala senggang atau sesuai mood yang bagus saat ia membuatnya. Akan tetapi, jika orangtua sedang ada pesanan selendang misal yang digunakan penari-penari dan cukup banyak.
Ia juga sering membantu ibunya. Dari ia bisa menenun ia juga bisa mendapat keuntungan dari hasilnya. Setiap satu selendang tapis yang ia buat dijual Rp200 ribu-Rp250 ribu.
Dengan keahlian yang dipunya saat ini, ia bisa mengurangi beban orangtuanya. Ia juga jarang meminta uang kepada orangtuanya lagi. Ke depan, ia berharap mempunyai toko tapis sendiri di daerah rumahnya di Gedongtataan, Pesawaran.(*)
Laporan Yesi Trinita, Kontributor Jejamo.com