Jejamo.com – Pemerintah Arab Saudi melalui Kementerian Dalam Negeri mengumumkan telah mengeksekusi 47 tersangka teroris dan seorang ulama Syiah, Nimr al-Nimr. Diantara daftar tersebut juga dieksekusi pemuka agama yang berafiliasi dengan Al-Qaeda, Faris al-Zahrani.
Nimr al-Nimr dihukum mati setalah memimpin aksi protes anti-pemerintah di bagian timur Arab Saudi. Sementara Al-Zahrani, yang dianggap sebagai salah satu teroris Arab Saudi yang paling dicari, dan telah ditahan sejak 2004 atas tuduhan kepemilikan senjata.
Dilaporkan Tempo.co dari Aljazeera, dua teroris tersebut berasal dari Mesir dan Chad. Disebutkan bahwa tersangka telah berpartisipasi dalam serangan terhadap permukiman di Arab Saudi dan sejumlah gedung pemerintah.
Sementara itu Badan Amnesty International mengutuk keras langkah Arab Saudi tersebut seraya menyebut negara itu telah mengeksekusi sedikitnya 151 orang sepanjang 2015. Jumlah ini merupakan eksekusi terbanyak dalam 20 tahun terakhir.
“Pihak berwenang Arab Saudi muncul berniat melanjutkan eksekusi berdarah.” tulis sebuah laporan Amnesty. Seperti dilaporkan Tempo.co dari James Lynch, wakil direktur pada program Timur Tengah dan Afrika Utara.
Amnesty Internasional juga menyebutkan eksekusi ini adalah hasil peradilan yang tidak adil bagi warga negara asing di Arab Saudi. “Sebanyak 63 orang dieksekusi tahun ini atas tuduhan narkoba, sebagian besar, sebanyak 45 orang, merupakan warga negara asing,” tulis sebuah laporan Reuters.
Sementara seorang pengamat politik Arab Saudi, Khalid al-Dakhi, menantang integritas dari laporan Amnesty tersebut. Ia menyebut jumlah tersebut justru tidak seberapa dibanding rekor eksekusi yang terjadi di Iran.
“Iran mengeksekusi jauh lebih banyak orang dalam setahun dibanding Arab Saudi, namun itu tidak membuat citra negatif sebagaimana yang terjadi di Arab Saudi. Ini adalah suatu hal yang harus dibenahi,” ujar Khalid al-Dakhi kepada Aljazeera.
Menurut dia, Arab Saudi, Iran, Cina, Amerika Serikat, dan Irak adalah lima negara terbesar yang memberlakukan hukuman mati. Lalu mengapa hanya Arab Saudi yang terus disudutkan?(*)
Tempo.co