Jejamo.com – Indonesia menjadi salah satu produsen sampah plastik tertinggi kedua di dunia. Sampah plastik menjadi isu penting dan mendapat perhatian karena jumlahnya yang kian bertambah seiring modernisasi.
Plastik berupa bekas botol, kantong, dan kemasan yang lama-kelamaan menjadi mikroplastik (debris) sangat berbahaya jika termakan oleh ikan-ikan yang kemudian dikonsumsi manusia.
Selain menyebabkan pencemaran, sampah plastik yang tidak bisa terurai bisa menurunkan kualitas perairan, merusak ekosistem laut dan kerugian ekonomi bagi nelayan serta masyarakat pesisir. Karena itu, upaya mengurangi sampah plastik terus dilakukan baik oleh pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, maupun pihak swasta.
Salah satunya adalah pemerintah Amerika Serikat dan pemerintah Kota Bandung yang saat ini menjajaki kerja sama pengolahan sampah plastik menjadi energi (waste to energy) yang prosesnya akan dimulai pada 2016.
“Ini merupakan proyek percobaan antara pemerintah AS dan pemerintah Kota Bandung untuk mendaur ulang sampah plastik menjadi sumber energi dengan tujuan mengurangi volume sampah di Sungai Ciliwung,” kata Duta Besar AS untuk Indonesia Robert O dilansir suara.com.
Kerja sama pengurangan yang kini baru sampai tahap uji kelayakan itu dianggap perlu karena Bandung merupakan hulu Sungai Ciliwung yang sampahnya seringkali terbawa hingga Teluk Jakarta. Amerika Serikat, kata Blake, telah secara aktif melakukan upaya pengurangan sampah di laut.
“Palang Merah Amerika merupakan pelopor pengolahan sampah organik dan plastik di Lombok. Mereka melibatkan masyarakat lokal untuk bersama-sama mencegah sampah masuk ke laut,” tutur Blake.
Menurut Blake, sampah menjadi isu penting terlebih setelah penelitian dar University of Georgia menunjukkan Indonesia merupakan penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Cina, dengan jumlah sampah plastik yang masuk ke laut sebanyak 1,29 juta ton pada 2010.
Studi yang dipimpin oleh Jenna Jambeck itu memperkirakan potensi sampah plastik di lautan seluruh dunia pada 2025 mencapai 250 juta ton.
Sementara, Koordinator Gili Eco Trust, Delphine Robbe mengatakan pengurangan sampah plastik bisa dilakukan dengan mengganti model kemasan dengan material yang bisa didaur ulang. Di sini peran pemerintah sebagai penentu kebijakan menjadi penting.
“Pemerintah yang kontrol dengan mendorong perusahaan pengganti kemasan produknya. Ganti kemasan plastik dengan kertas daur ulang,” kata perempuan Perancis yang sudah belasan tahun tinggal di Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat itu.
Menurut Delphine, pemerintah bisa membuat kebijakan lewat pajak atau sanksi. Perusahaan yang tidak membuat kemasan dari bahan daur ulang, ujar dia, bisa diberi sanksi atau dikenakan pajak yang lebih tinggi.
“Jika perusahaan tidak memakai kemasan daur ulang kenakan pajak yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan yang pakai kemasan daur ulang,” tuturnya.
Ia mengatakan program pengurangan sampah yang dibuat pemerintah selama ini hanya menyasar keterlibatan masyarakat. Hal tersebut tidak akan menyelesaikan persoalan sampah plastik.
“Kalau kemasan tidak ada perubahan dari perusahaan yang buat, akan masih banyak sampah plastik yang belum diolah. Minimarket juga didorong berhenti kasih tas plastik,” Tambahnya.
Di Gili Trawangan yang memiliki keliling pulau sekitar 8 kilometer, terdapat 50 tempat pembuangan akhir (TPA) dimana sebagian besar sampah plastik dibakar. Pembakaran sampah plastik, menurut Delphine, hanya menjadi solusi jangka pendek dan tidak akan berdampak pada kelestarian kepulauan Gili kecuali ada kebijakan dan sanksi tegas dari pemerintah.
Kondisi pencemaran di Gili sudah memprihatinkan. Ia menuturkan, sering dijumpai penyu-penyu mati terdampar di pantai karena mereka salah memakan kantong kresek yang mungkin mereka pikir adalah ubur-ubur.(*)