Rabu, Desember 18, 2024

Top Hari Ini

Terkini

Ketika Mas Gagah Menyeruak Pagar XXI

Produser film Ketika Mas Gagah Pergi, Helvy Tiana Rosa (tiga dari kanan) menerima cenderamata dari Ketua Umum FLP Lampung (tihga dari kiri) Destiani, usai penayangan film itu, beberapa hari lalu. | Dok Desi Ilham Sianturi
Produser film Ketika Mas Gagah Pergi, Helvy Tiana Rosa (tiga dari kanan) menerima cenderamata dari Ketua Umum FLP Lampung (tihga dari kiri) Destiani, usai penayangan film itu, beberapa hari lalu. | Dok Desi Ilham Sianturi

“Ketika kita tidak dapat memahami suatu kebaikan, maka cobalah untuk menghargainya” (quote KMGP The Movie)

***

Butuh waktu hampir sebulan sejak tayang perdana pada 21 Januari 2016, film “Ketika Mas Gagah Pergi” (KMGP) akhirnya diputar juga di kampung halaman Masaji Wijayanto (salah satu pemeran KMGP), di Bumi Lampung. Ketika KMGP Jilid II bahkan siap tayang di kota-kota lain, KMGP (jilid I) mengudara jua pada 14 Februari di XXI Mall Boemi Kedaton dan 17 Februari 2016 di 21 Central Plaza Bandar Lampung.

Waktu pemutarannya pun tak lazim. Pagi pukul 09.00 WIB. “Pihak XXI dan 21 tidak bisa menayangkan pada jam reguler,” begitu menurut Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Lampung Destiani, yang menjadi salah satu sponsor penayangan film ini bersama Komunitas Film Islami (KOPFI). Ticketing-nya saja harus indent. Calon penonton, sebagian dari luar Bandar Lampung, yang berharap boleh beli tiket di tempat harus pulang membawa kecewa.

Oleh karena itu, enam ruang teater XXI dan 21 yang dibooking panitia Lampung untuk hanya dua kali penayangan, sungguh amat jauh dari lingkaran segmen sasaran penonton film ini sesungguhnya.

Amat sangat tidak memadai.

Walau mungkin bernasib lebih baik daripada banyak film indie lainnya, KMGP tak seberuntung film-film bergenre sejenis, sebut saja “Tausiyah Cinta” yang sukses tayang reguler di jaringan bioskop 21/XXI, atau “Assalamu’alaikum Beijing” yang dibesut rumah produksi besar Sinemart.

“Ini film kita. Kita yang modalin, kita yang buat, dunia yang nonton.”

Sebesar itulah idealisme yang diusung penulis novel KMGP yang kemudian juga bertindak sebagai produser KMGP The Movie Helvy Tiana Rosa. Sebulat itulah keengganan dosen Universitas Negeri Jakarta ini untuk didikte rumah-rumah produksi dan jaringan besar pemasaran film. Maka jalan berliku beserta ngarai dan lembahnya produksi hingga distribusi film ini tentu menjadi keniscayaan.

Tak kurang sebelas rumah produksi yang sempat meminang untuk memfilmkan KMGP. Namun semua tertolak karena emoh memenuhi empat syarat yang keukeuh Helvy ajukan: pemeran Gagah harus pemuda yang kuat berinteraksi dengan Alquran, minimalkan adegan persentuhan antara pemain yang bukan mahram, 50% keuntungan disumbangkan untuk kerja-kerja kemanusiaan, dan jangan hapus adegan yang mengampanyekan support Palestina.

Syarat yang melukai kepentingan bisnis korporasi maupun sebagian pengampu ideolog liberal.

Upaya untuk memroduseri sendiri (Helvy dan suaminya mantan wartawan Tomi Satryatomo sampai menggadaikan rumah) serta mengumpulkan donasi dari crowd funding berbuah nominal Rp3,7 miliar hingga film ini pun sukses menyeruak layar 21/XXI. Tapi jalan berliku menuju tembus angka penonton 7 digit masih harus dihela pada pemutaran KMGP II.

“Saya tidak punya anggaran promosi,” aku Helvy.

***

Jika filmnya butuh waktu sebulan untuk sampai Lampung, produksi filmnya sendiri butuh waktu 22 tahun sejak pertama kali dipublikasi sebagai produk literasi publik. September 1993 pertama kali cerpen “Ketika Mas Gagah Pergi” karangan Helvy muncul di majalah remaja Annida.

Cerpen KMGP berkisah tentang relasi kakak-adik Gagah dan Gita yang awalnya hangat dan karib, namun memanas pasca Gagah berubah. Gagah yang sebelumnya fotomodel, hobi nongki-nongki canci (nongkrong-nongkrong cantik) berubah alim dan penuh nasihat. Cerpen KMGP kemudian menjadi inspirasi bagi banyak kalangan muda di masa itu-termasuk saya sendiri-untuk lebih memahami agama dengan baik.

Helvy, yang juga pernah dinobatkan sebagai satu dari 15 tokoh muslim Indonesia di jajaran The 500 Most Influential Muslims in The World versi The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) ini, kemudian mengembangkan cerita KMGP menjadi novel berjudul Ketika Mas Gagah Pergi dan Kembali. Novel inilah yang kemudian dilayarlebarkan.

Sebagai film indie, KMGP The Movie merupakan film yang digarap hati-hati, profesional, dan bertabur bintang serta cameo. Wulan Guritno, Mathias Muchus, Dwiki Dharmawan, Nungki Kusumastuti, Epy Kusnandar, Joshua Suherman, Irfan Hakim, Virzha Idol, Shireen Sungkar, Elly Sugigi menemani tiga pemeran debutan yaitu Hamas Syahid (Gagah), Aquino Umar (Gita), dan Masaji Wijayanto (Yudi). Sutradara Firmansyah sendiri ditunjuk oleh Chaerul Umam yang sedianya diplot sebagai sutradara, namun wafat pada tahun 2013.

Review film saya kira sudah bertabur di laman-laman lain, jadi tulisan ini tentu saja tak akan dimuarakan sebagai review (sudah sebulan sejak tayang perdana, plis deh …). Tapi jika boleh jempol empat saya berikan untuk Dik Manis Aquino Umar yang ciamik sekali memerankan Gita.

***

Pasca-KMGP I, maka pertanyaan selanjutnya adalah pertama, akankah distribusi KMGP Jilid II menempuh liku, ngarai, dan lembah yang sama? Apakah untuk KMGP Jilid II, pihak 21/XXI akan percaya diri menyilakan ia masuk jadwal penayangan reguler di semua tempat?

Kedua, harga menegakkan idealisme sarat nilai, terutama di ranah sinematografi, mungkin memang akan selalu menyimpan dilema. Bagaimana penonton KMGP yang berharap memeroleh hiburan inspiratif nan santun, sebagian ada pasutri mengajak kanak-kanak atau guru SD/SMP yang menemani siswa-siswinya, tetap harus terpapar iklan-iklan seronok film-film lain.

Tak bisakah setidaknya pihak 21/XXI memilihkan iklan film yang sefrekuensi dengan pemirsa KMGP?

Dan bukankah untuk Lampung, KMGP tidak diberi tayang pada jam reguler?

Ketiga, sebulan-tepatnya 26 hari-pasca-premiere KMGP sepertinya terlalu lama untuk melompat dari satu 21 ke XXI di provinsi lain. Sebulan pasca-premiere untuk film-film lain, Anda sudah dengan mudah menemukan versi download gratisnya di internet. Loyalitas pemirsa KMGP sajalah yang cukup untuk memblokade agar itu tak terjadi.

Dan kalangan yang mendukung produk inspiratif namun berjarak dengan peradaban bernama bioskop mungkin akan lebih memilih membeli DVD daripada masuk bioskop.

Sebagaimana kutipan KMGP di atas: “Ketika kita tidak dapat memahami suatu kebaikan, maka cobalah untuk menghargainya.” Ketika Anda memilih tidak memirsa film-film inspiratif di bioskop, setidaknya hargailah orang-orang yang memperjuangkannya.

Ketika pagar korporasi sinematografi tampak amat tinggi, maka pencetlah bel agar pemilik pagar membuka gerbangnya.(*)

Detti Febrina, Tenaga Ahli Media DPR RI, pegiat jurnalisme warga dan literasi informasi. Tinggal di Bandar Lampung

Populer Minggu Ini