Jejamo.com, Bandar Lampung – Mulai 1 April 2016, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, memberlakukan tarif baru bagi peserta jaminan sosial kategori Bukan Penerima Upah di seluruh Indonesia termasuk Lampung.
Dalam jumpa pers Rabu kemarin, 16/3/2016, BPJS menyatakan kenaikan tarif iuran tersebut yaitu untuk perawatan di rumah sakit kelas III menjadi Rp30.000 per orang, sebelumnya Rp25.000. Kemudian kelas II menjadi Rp51.000 per orang, sebelumnya Rp42.500. Lalu kelas I melonjak menjadi Rp80.000 per orang, sebelumnya Rp59.500.
Kenaikan tersebut menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat Lampung, seperti datang dari Yunike Putri, pengguna BPJS kesehatan, mengaku tidak setuju dengan kenaikan iuran tersebut. Hal itu karena masih kurangnya pelayanan dari rumah sakit terhadap peserta BPJS dan masih adanya kesenjangan dengan pasien umum.
“Kemarin saudara saya berobat operasi ginjal di rumah sakit swasta di Bandar Lampung. Namun, belum sembuh total tetapi ia sudah disuruh pulang oleh pihak rumah sakit dengan alasan adanya masa aktif dari pengguna BPJS kelas I,” kata Yuni saat diwawancarai Jejamo.com, Kamis 17/3/2016.
Menurutnya, pelayanan rumah sakit swasta terhadap peserta BPJS dianggap masih kurang ramah. Pasalnya, pihak rumah sakit selalu menampilkan wajah kurang ramah dan beralasan ruangan penuh saat peserta BPJS ingin berobat.
“Beberapa waktu lalu, teman saya ada yang mau melahirkan di rumah sakit swasta. Karena Ia bilang peserta BPJS, pihak rumah sakit langsung bilang ruangan penuh, ia kemudian dirujuk ke RSUDAM. Karena teman saya tidak mau, akhirnya Ia melahirkan di RS Immanuel dan menghabiskan biaya Rp21 juta,” ucapnya.
Ia menegaskan, seharusnya pelayanan rumah sakit dapat mengedepankan kepentingan umum dan tidak melakukan diskriminasi terhadap peserta BPJS. Karena biaya berobat dari pasien peserta BPJS juga akan di bayar oleh pemerintah.
“Kalau bisa pelayanan rumah sakit ke peserta BPJS kesehatan dapat lebih ditingkatkan lagi dan tidak ada perbedaan antara pasien umum maupun pasien peserta BPJS,” ujarnya.
Hal senada diutarakan oleh Sabani Yasin, BPJS kesehatan, dirinya tidak kenaikan iuran yang sudah disosialisasikan tersebut. Sebab, iuran yang dibayar sebelum adanya kenaikan sudah cukup membebani peserta dan kartu BPJS juga jarang dipakai.“ Ya tidak setuju. Karena saya jarang menggunakan kartu BPJS, tetapi setiap bulan selalu rutin membayarnya,” katanya.
Kendala lain bagi peserta BPJS, lanjut dia, peserta harus mengantri panjang untuk mendapatkan obat setelah mendapat resep dari rumah sakit. “Panjang antriannya kalau kita mau menebus obat di apotik yang bekerja sama dengan BPJS,” ucapnya.
Di lain sisi, peserta BPJS kesehatan lainnya, Marwoto, menyetujui rencana pemerintah dalam menaikkan iuran peserta BPJS kesehatan, karena sangat meringankan masyarakat saat berobat. “Semua gratis kalau kita menjadi peserta BPJS kesehatan ini,” ujarnya.
Selanjutnya, dirinya juga tidak mempermasalahkan iuran yang dibayar setiap bulan meskipun kartu tersebut jarang di pakai untuk berobat. “Kalau saya inginnya selalu sehat, walaupun kartu tersebut jarang dipakai. Karena dapat membantu peserta yang lain dengan adanya subsidi silang seperti ini,” tandasnya. (*)
Laporan Arif Wiryatama, Wartawan Jejamo.com.
Â