Jejamo.com, Bandar Lampung – Puluhan mahasiswa yang mengatas namakan Gerakan Rakyat Melawan Kriminalisasi (GERAM Kriminalisasi) Lampung menggelar aksi demo di tugu Adipura, Bandar Lampung, Senin 21/3/2016.
Kordinator lapangan aksi ini, Reynaldo Sitanggang mengatakan bahwa, bertepatan dengan tanggal 30 Oktober 2015, buruh bersama mahasiswa dan rakyat yang melakukan aksi unjukrasa di depan istana menuntut pencabutan peraturan pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan.
“Unjuk rasa tersebut dilakukan karena PP 78/2015 tidak akan memberikan perlindungan terhadap buruh/pekerja terkait, penetapn upah akan semakin melanggengkan sistem upah murah yang berdampak pada keadaan ekonomi nasional secara umum. Termasuk sektor pendidikan akan semakin sulitnya masarakat mengakses pendidikan yang akhirnya juga berdampak pada kualitas dan daya saing generasi bangsa dalam menghadapi globalisasi,” katanya.
Disisi lain, lanjut dia, PP 78/2015 tentang pengupahan di desain anti demokrasi dengan menghilangkan peran serikat pekerja/serikat buruh, karna buruh tidak bisa lagi terlibat duduk bersama, musyawarah untuk mencapai mufakat dalam menetapkan besaran upah minimum setiap tahunnya.
“Maka sesungguhnya PP 78/2015 merupakan perwujudan dari politik upah murah yang hanya akan menguntungkan satu pihak yaitu para pengusaha,” ujarnya.
Selain dampaknya bagi buruh, lanjut dia, PP 78 tentang penetapan upah juga akan berdampak luas, jika upah masih rendah atau upah tidak mampu meningkatkan kesejahteraan buruh maka bergaris lurus dengan tidak meningkatnya daya beli, rendahnya daya beli sudah pasti akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi negara.
“Atas dasar itu buruh bersama elemen mahasiswa dan rakyat lainnya melakukan aksi unjukrasa di depan Istana Negara,” ujarnya.
Akan tetapi, aksi unjukrasa sebagai bagian perwujudan dari kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum sebagaimana tertuang dalam Undang Undang Dasar 1945 dan undang –undang di bawah nya di cederai oleh aksi pembubaran yang di lakukan oleh pihak kepolisian, dalam hal ini Polda Metro Jaya.
“Tindakan pembubaran yang di lakukan oleh pihak kepolisian di lakukan dengan cara penembakan water cannon dan gas air mata. Ketika buruh, mahasiswa, dan masa aksi yang lain mau membubarkan diri secara tertib tiba-tiba polisi menggunakan kaos turn back crime (TBC) melakukan pemukulan, pengrusakan dan penangkapan,” ungkapnya.
Sangat ironi, rakyat yang menjadi korban justru dikriminalisasi dan dijadikan tersangka padahal yang melakukan pemukulan dan pengrusakan adalah pihak kepolisian. Kasus kriminalisasi terus di lanjutkan sampai 23 buruh, 1 mahasiswa, dan 2 pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta di lanjutkan sampai kepersidangan.
“26 aktivis pro rakyat ini dijerat dengan pasal 216 ayat (1) dan/atau 218 KUHP Jo Pasal 15 UU Kemerdekaan menyampaikan pendapat, dan pasal 7 ayat (1) butir (a) PERKAP 7/2012 yang pada pokoknya dinyatakan melawan petugas,” ungkapnya.
Padahal tindakan massa bukan tindak pidana yang melanggar pasal 216 dan/atau 218 KUHP karena sesuai dengan UU No. 9/98 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat sanksi aksi massa seharusnya cukup dengan pembubaran bukan pemidanaan.
“Peraturan Kapolri (PERKAP) tidak dapat dijadikan dasar untuk pemidanaan. Hak berekspresi hanya dapat dibatasi dengan Undang-Undang,” ucapnya.
Sudah terang dan jelas bahwa negara dengan segala perangkat kekerasanya termasuk kepolisian bertujuan untuk membungkam suara rakyat, bermaksud meredam gerakan rakyat yang sedang berjuang menuntut kesejahteraan, bermaksud mematikan demokrasi, kesemuanya itu untuk kepentingan kekuasaan dan membuktikan dirinya sebagai pelayan setia para investor bukan untuk melindungi, mengayomi, dan melayani rakyat.
” Untuk itu Gerakan Rakyat Melawan Kriminalisasi (GERAM KRIMINALISASI) mengajak seluruh masyarakat untuk melawan upaya pembungkaman yang dilakukan penguasa terhadap rakyatnya dalam menuntut hak kesejahteraannya,” ujarnya.
Karena, sesungguhnya pengadilan terhadap 26 aktivis yang ditetapkan sebagai tersangka ini merupakan pengadilan bagi seluruh aktivis buruh, mahasiswa, petani, pers, dan elemen gerakan pro demokrasi lainnya.
“Jika para ke 26 aktivis tersebut dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman, maka hal ini bisa dijadikan landasan dalam pembungkaman suara-suara kritis rakyat dalam setiap aksi- aksi yang dilakukan,” ungkapnya.
Berdasarkan hal tersebut GERAM Kriminalisasi Lampung yang terdiri dari “EW-LMND Lampung, SMI, FSBKU-KSN, LBH Bandar Lampung, KPOP, PPI” mendesak pemerintah untuk:
- Putus Bebas 26 Aktivis yang dikriminalisasi.
- Cabut PP No. 78 Tahun 2015.
- Hapuskan sistem kerja kontrak (outsourching).
- Buka lapangan pekerjaan berbasis industri nasional serta upah layak nasional.
- Tolak Liberalisasi MEA 2016 dan TPT (Trans Pacific Partnership).
- Berikan Jaminan Kesehatan yang layak untuk seluruh rakyat Indonesia.
- Wujudkan Pendidikan Gratis, Ilmiah dan Demokratis.
- Wujudkan Demokrasi Sejati. (*)
Laporan Arif Wiryatama, Wartawan Jejamo.com