Oleh Melly Ridaryanthi | Kandidat Doktor Komunikasi Universitas Kebangsaan Malaysia
Konstruksi kepatutan dalam masyarakat yang meletakkan peran perempuan hanya pada ranah domestik, telah memasung kaki perempuan dari kesempatan untuk berekspresi. Sepatutnya perempuan yang berusia dua puluh sekian tahun sudah menikah, kemudian mereka kelimpungan mencari calon suami. Sepatutnya perempuan yang sudah menikah segera bereproduksi, kemudian ada tuntutan pada fungsi rahimnya. Sepatutnya perempuan diam di rumah dan mengurus keluarga, kemudian dibatasi ruang geraknya.
Dan segudang kepatutan-kepatutan lain yang menekan dan mengikat kaki mereka erat-erat. Belum lagi perbincangan mengenai rumah tangga dan perkawinan yang sering kali meletakkan fokus pada peran perempuan semata, menjadikan ikatan itu semakin erat.
Padahal, sebagai bagian dari masyarakat, perempuan memiliki peluang untuk berperan secara aktif pada ranah publik. Entah itu sebagai tenaga pekerja, tenaga pendidik atau apapun. Yang jelas, perempuan juga merupakan sumber daya manusia yang potensial dalam pembangunan sesuai dengan keterampilan dan pendidikan yang dimilikinya.
Tidak jarang perempuan dengan pendidikan tinggi, berusia tiga puluh sekian tahun, berkarir dan belum menikah “dihakimi” secara sadis oleh konstruksi kepatutan itu. Anggapan bahwa terlalu memilih dalam mencari pasangan, terlalu fokus pada pendidikan dan karir sehingga tidak memikirkan jodoh, tidak membuka diri dalam pergaulan sampai hinaan tidak berpenampilan menarik atau bahkan sebutan jelek kerap melayang kepada mereka.
Belum lagi fungsi rahimnya yang dipertanyakan. Padahal tidak seorang pun di luar sana yang benar- benar tahu apa yang dilalui dan sedang diperjuangkan oleh para perempuan. Belum lagi sesama perempuan nantinya akan berjuang demi kebenaran status mereka sebagai ibu yang tinggal di rumah atau ibu bekerja yang sebetulnya tidak perlu.
Perempuan memiliki lahan perjuangannya masing-masing yang tidak perlu dibanding-bandingkan apalagi dihakimi. Sehingga, konstruksi kepatutan-kepatutan yang ada sebaiknya dipikirkan ulang oleh masing-masing dari kita untuk mengurangi, kalau perlu menghilangkan, sikap menghakimi dan menjegal ekspresi seorang perempuan.
Momen peringatan hari kelahiran R.A. Kartini bisa dimanfaatkan untuk kembali menggali makna perjuangan beliau secara utuh. Bukan hanya sebatas perayaan simbolik dengan mengenakan kebaya dan berkonde atau lomba memasak semata. Perjuangan Kartini lebih cerdas dari sekedar ornamen dan solekan yang melekat pada tubuh perempuan.
Seperti pemikiran beliau yang menempatkan pendidikan sebagai harga mati agar masyarakat berpikiran maju, perempuan butuh pengetahuan dan pendidikan yang luas untuk menjadi manusia pembangunan; baik itu di ranah domestik maupun publik.
Biarkan mereka memilih ranah perjuangan mereka dan keputusan itu bukan untuk dihakimi. Jangan biarkan kepatutan-kepatutan yang terkonstruksi di masyarakat mendikte masa depan perempuan. Selamat Hari Kartini, bagi perempuan Indonesia.
artikel yang sangat menarik