Jejamo.com, Bandar Lampung – Yolis masih merahasiakan keislaman itu dari keluarga besarnya.
“Akhirnya ketahuan juga setelah satu bulan. Keluarga mengancam tidak menyekolahkan saya,” cerita Yolis.
Kendati demikian, dia tetap besikukuh memeluk Islam.
“Saya bilang sama Mama, gini aja, kalau Mama mau memukul saya, silakan pukul. Kalau Mama mau marah, silakan marahin. Yang penting izinkan saya pergi dari rumah. Walaupun keluarga saya sinis menanggapinya. Mama berkata, sekolah belum selesai apa ada yang menjamin. Saya tegaskan ke ke keluarga, pilihan saya masuk Islam tidak ada unsur paksaan siapa pun,” ujarnya.
Yolis tidak membenci keluarga yang membesarkannya itu. Ia tetap menyayangi walaupun mereka nonmuslim.
Dirinya kemudian memutuskan pergi dari rumah. Di perjalanan, terlintas pergi ke Kalideres untuk mencari masjid guna meminta izin agar bisa mendapat tempat tidur dengan menemui salah satu pengurusnya dan menjelaskan bahwa dirinya seorang mualaf dan bersedia menjadi tukang kebersihan masjid.
“Kalaupun tidak ada tempat, saya mau minta izin agar bisa tidur di bagian belakang masjid. Sedangkan untuk makannya sendiri. Saya siap memungut kardus, botol, besi atau apa pun untuk dijual. Uang hasil mulung nantinya dikumpulkan untuk membeli gerobak untuk usaha jual nasi ataupun mi goreng ataupun pecel lele. Kendati ada pemikiran seperti itu, seketika itu juga sirna,” ungkapnya.
Saat sampai di depan kos, tepatnya di daerah Gotong Royong, Bandar Lampung, salah seorang saudaranya sudah menunggu.
Saat itu, ia tidak tahu mau kemana. Ingat dengan teman sekelas, Subian Saidi, ia pun menelepon.
Kini, meskipun keluarga besar sudah mengizinkan keislaman Yolis, permasalahan muncul ketika dirinya akan berkeluarga. Keluarga besar berharap Yolis menikah dengan perempuan Tionghoa.
Sayangnya, Yolis tidak mau.
Yolis ingin memutus rantai dan menjadi contoh kepada anak-anak kelak agar tidak ada lagi sekat-sekat sukuisme, melainkan karena kebaikan-kebaikan kepada siapa pun.
“Orangtua mengizinkan dan mengikhlaskan dan sampai di akhir hayat kedua orang tua semua berjalan dengan baik. Tidak ada lagi sekat-sekat agama dan sukuisme. Istri dan anak-anak saya juga sangat dekat dan sayang kepada saudara-saudaranya walaupun mereka nonmuslim,” ujarnya.
“Yakinlah bantuan Allah itu lebih dekat dari pada urat leher kita sendiri. Dan janganlah masuk ke dalam Islam dengan tanggung-tanggung, masuklah secara kaffah,” pungkasnya.
Kini Yolis bekerja menjadi konsultan IT dan programmer di beberapa daerah di Indonesia.
Baca: Kisah Yolis Hidayatullah, Mualaf Alumnus SMAN 2 Bandar Lampung (1).(*)
Laporan Arif Wiryatama, Wartawan Jejamo.com