Jejamo.com, Bandar Lampung – Anggoro Setiyadi, warga Klaten, terlahir dari keluarga yang memeluk agama Nasrani. Namun, d idalam dirinya berjolak keingintahuan untuk mencari agama dan jalan yang benar.
Menurut Anggoro, saat mengenyam pendidikan di SMP 2 Bandar Lampung, dirinya mulai menganalisis agama yang dianggapnya benar.
” Waktu itu saya bingung saat memanjatkan doa di gereja kepada siapa. Terkadang menyebut Bapak, Yesus, dan Roh Kudus. Saya bingung, Tuhan kok ada tiga,” kata Anggoro saat diwawancarai jejamo.com melalui sambungan telepon, Senin, 20/6/2016.
Kedua orangtua Anggoro membebaskan anaknya untuk tidak menjalankan ibadah di gereja karena sering berdialog tentang agama dan terbilang masuk akal.
“Saya sering berbicara dengan orangtua, Tuhan kita itu siapa? Tritunggal itu siapa? Kita itu sebenarnya menyembah siapa,” ungkapnya.
Namun, pertanyaan itu tidak bisa dijawab orangtuanya maupun pendeta.
“Mereka hanya mengumpamakan Tuhan itu seperti angin, hanya bisa dirasakan, tetapi tidak bisa dilihat. Kenapa Tuhan Roh Kudus tidak memakai nama Maha di depannya. Kenapa tidak berani menyebut Roh Maha Kudus,”ucapnya.
Selain itu, menurutnya, Tuhan Yesus juga diciptakan melalui proses persalinan serta makan dan minum setiap harinya sama seperti khalayak manusia pada umumnya.
“Sedangkan di kitab juga mengatakan, saat malaikat menemui Ibrahim, malaikat tersebut tidak mau menyentuh makanan ataupun minuman yang telah disuguhkan Ibrahim,” ujarnya.
Anggoro juga sempat bertanya-tanya dengan kedua orangtuanya mengenai siapa yang memegang kunci surga, siapa yang membuat surga itu, kenapa Yesus bisa memegang kunci surga itu?
Orangtua sempat bertanya juga, siapa yang megang kunci.
“Saya menjawab kunci surga dipegang oleh Tuhan Allah Maha Pencipta yang menciptakan langit, bumi dan neraka, bukan Yesus yang hanya ciptaannya juga. Kan kalau kata Tuhan Yang Maha menciptakan itu berkata, Kunfayakun (jadilah, maka jadilah),” ucapnya.
Dalam perjalanan dalam pencariannya tersebut, dirinya selalu memanjatkan doa kepada Tuhan sang maha pencipta langit dan bumi serta yang menciptakan hamba. Sebab, dirinya tidak mengetahui agama yang benar karena semua saling mengklaim kebenarannya.
“Saya berdoa memohon diberi petunjuk agar diberi kesempatan supaya bisa bertemu dengan sang maha pencipta dan memeluk agama yang benar sebelum meninggal dunia. Karena saya tidak akan sujud kepada siapa pun juga, kecuali kepada Sang Maha Pencipta Yang Esa,” ungkapnya.
Anggoro juga sering disuruh guru untuk memimpin doa saat berada di kelas saat memasuki pelajaran agama Kristen, tepatnya ketika duduk di SMPN 2 Bandar Lampung dan SMAN 1 Bandar Lampung.
” Saat memimpin doa, saya tidak mengucapkan nama Tuhan Yesus. Hanya kepada sang maha pencipta yang Esa. Saya juga berencana tidak akan menikah sebelum diberi petunjuk jalan yang lurus,” ujarnya.
Namun, keinginan untuk tidak pergi ge Gereja guna menjalankan ibadah berhasil diluluhkan oleh keluarga dan saat memasuki kenaikan kelas II menuju kelas III di SMAN 1 Bandar Lampung.
“Mereka datang ke rumah, akhirnya saya luluh juga. Akhirnya saya ke gereja ikut orangtua. Namun, ada sesuatu di dalam hati yang mengganjal dan harus mengikuti apa kata orangtua. Akhirnya kelas II saya dibaptis lagi,” ucapnya.
Dia mengetahui sang ayah bertanya kepada pendeta. Setelah itu, ayahnya pergi menjemput ibu di SMAN 1 Bandar Lampung yang saat itu masih sebagai menjabat wakil kepala sekolah.
Namun, di perjalanan, ayah Anggoro mengalami kecelakaan hingga stroke. Itu saat Anggoro menginjak kelas III.
Anggoro berdoa kepada Tuhan, jika ayah saya meninggal lebih baik bagimu, cabutlah nyawanya. Jika tidak, berilah kesehatan untuknya dan panjangkan umurnya.
“Ternyata tidak lama itu Bapak meninggal. Itu menjawab kejanggalan yang ada di dalam hati saya. Karena ajakan orangtua kembali ke gereja sebagai tanda permintaan terakhir ayah. Terakhir saya ketemu bapak pada hari Kamis, usai bertemu Bari, pendeta dari Jakarta,” ucapnya.
Namun, detik terakhir akan menghembuskan nafas, Anggoro mendengar ayahnya mengucapkan Lailaha Illallah, meskipun dengan suara yang tidak jelas, tepatnya saat azan magrib.
“Alhamdulillah, mungkin itu jawaban dari pendeta yang telah ditemuinya itu. Seketika itu juga turun hujan teras,” katanya.
Anggoro kemudian hijrah dari Lampung ke Yogya untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi di Universitas Gajah Mada.
Dia mulai mempunyai banyak teman baru dari Universitas Duta Wicana Yogyakarta dan sering berbagi pengetahuan tentang agama dengan mahasiswa calon pendeta jurusan Teologia.
“Mereka mengakui Yesus tidak pernah menyebut akulah Tuhan dan sembahlah aku. Tetapi Yesus mengatakan, sembahlah Allah tuhanku dan tuhanmu,” ucapnya.
Dalam obrolan tersebut, temannya itu mengakui kalau Yesus hanyalah utusan Tuhan Maha Pencipta yang menciptakan langit, bumi, dan jagat raya beserta isinya ini.
Anggoro meminta agar ditunjukkan jalan yang lurus.
Memasuki tahun 2007, ia berkunjung ke rumah nenek di Klaten untuk menanyakan bagaimana cara bertemu dengan Tuhan yang menciptakan langit dan bumi.
“Nenek mengajarkan saya berpuasa berdasarkan adat dan ajaran Jawa, yakni kejawen, seperti puasa mutih, puasa pati geni, puasa pisang raja ataupun lainnya,” ucapnya.
Karena fisiknya tidak sanggup menjalankan puasa tersebut, cobaan luar biasa datang. Ia kemasukan jin.
“Saya menyadari itu. Bahkan, saat berbicara dengan saudara ipar sampai larut malam, saya ngomongnya ngelantur,” katanya.
Suatu malam, saat dirinya terbangun dari tidur, sekitar pukul 24.00, Anggoro mencoba memusatkan pikiran kepada Tuhan Maha Pencipta Langit dan Bumi dengan duduk bersila.
“Setelah itu, saya tidak melakukan puasa berdasarkan kejawen lagi,” ucapnya.
Puncak petunjuk yang ia tunggu datang saat dirinya sedang memegang banyak uang yang akan dipergunakan untuk membeli mobil.
“Niat saya membeli pikap Colt diesel untuk dipakai usaha tetangga. Maksud saya, kalau saya tidak di Klaten, ada yang menemani nenek. Pikap untuk usaha tetangga ini agar ada setoran ke nenek saya,” ujarnya.
Tepat hari Kamis, bulan April 2007, Anggoro menjadi mualaf.(*)
Laporan Arif Wiryatama, Wartawan Jejamo.com