Selasa, Desember 17, 2024

Top Hari Ini

Terkini

KH Ihya Ulumuddin Harus Jatuh Bangun Perjuangkan Ponpes Madarijul Ulum Batu Putu Bandar Lampung

KH Ihya Ulumuddin Pimpinan Pondok Pesantren Salafiyyah Tahfidzul Quran Madarijul Ulum | Tama/jejamo.com
KH Ihya Ulumuddin Pimpinan Pondok Pesantren Salafiyyah Tahfidzul Quran Madarijul Ulum | Tama/jejamo.com

Jejamo.com, Bandar Lampung – Pondok Pesantren Salafiyyah Tahfidzul Quran Madarijul Ulum mulai berdiri pada tahun 2005 setelah mendapat tanah hibah seluas 3 hektare dari Walikota Bandar Lampung, Suharto.

Kendati demikian, Perjuangan KH Ihya Ulumuddin, Pimpinan Pondok, yang beralamat di jalan Wan Abdul Rahman, Gang Simpang Makmur, Kelurahan Batu Putu,Telukbetung Barat, Bandar Lampung tidak semudah membalikkan telapak tangan.

KH Ihya Ulumuddin harus melalui jalan terjal berliku untuk menyalurkan ilmu agama islam yang telah didapatnya saat berada di pondok pesantren Banten kepada masyarakat Bumi Ruwa Jurai, khususnya warga Keteguhan, Bandar Lampung.

Ia menceritakan, Dirinya pulang ke Bandar Lampung setelah selesai mengenyam pendidikan agama di salah satu pondok pesantren di Banten pada tahun 1990 pulang untuk mencoba merintis pengajian dengan nama Tolaal Badru dari satu masjid ke masjid lainnya maupun dari satu musala ke musala lainnya se-kelurahan Ketuguhan.

Kendati demikian, Tidak mudah bagi Ihya untuk menarik minat masyarakat sekitar agar mau menjadi peserta pengajian Tolaal Badru, karena belum memiliki tempat pengajian yang tetap. Akhirnya pengajian ini dilakukan dengan cara menumpang dari rumah warga satu ke warga lainnya ini sampai akhirnya membuat sebuah gubuk (rumah geribik) Sinar Mulya Keteguhan sebagai tempat pengajian.

Meskipun begitu, dirinya tidak berputus asa untuk menarik minat masyarakat setempat agar bergabung di pengajian Tolaal Badru ini.”Trik saya waktu itu melalui pembentukan satu organisasi kepemudaan yang waktu itu diberi nama Majelis Taklim Tunas Harapan yang kegiatannya diisi dengan olahraga, seperti, bola voli badminton, maupun mawalan, pencak silat, bahkan debus,”ungkapnya.

Para santri pengajian Tolaal Badru ini dari semua kalangan, baik anak-anak, dewasa sampai orang tua dengan jumlah 150 santri. “Setelah itu, pada tahun 1993, pengajian Tolaal Badru berubah nama  menjadi Majelis Taklim An- Nahliah yang sempat berkembang sampai tahun 1996,”ujarnya

Bersamaan dengan berubahnya nama majelis taklim ini, lanjut Ihya, ada seseorang (Abdul Manaf) yang datang ke Majelis Taklim untuk mewakafkan tanahnya.

Namun, karena dirinya merasa di kelurahan Keteguhan ada seorang tokoh adat dan tokoh agama, yakni mantan ketua MUI Lampung, Hayatun Nufus.

Maka, Abdul Manaf (orang yang ingin mewakafkan tanahnya dipertemukan dengan Hayatun Nufus dengan harapan agar menjadi saksi tanah seluas 1600 meter persegi untuk diwakafkan ke dirinya selaku pimpinan Majelis Taklim An- Nahliah.

“Tapi saya tidak tahu bagaimana diplomasi mereka. Pada kenyataannya malah berbalik, saya malah menjadi saksi, dan Pak Kiyai Hayatun Nufus yang menerima wakaf atas tanah seluas 1600 meter itu. Namun pada waktu pak kiyai Hayatun Nufus menulis status tanah itu sebagai hibah,”ucapnya.

Pada tahun 1994, timbul gejolak dari keluarga besar Abdul Manaf yang telah mewakafkan tanahnya itu. Karena, pihak keluarga besar Abdul Manaf tidak ingin tanah itu ditulis sebagai hibah, tetapi wakaf.”Maka dirubah lah status tanah ini menjadi wakaf,”ujarnya.

Memasuki tahun 1995, Kiyai Hayatun Nufus akhirnya memasrahkan tanah tersebut untuk dibangun. Kemudian, pada akhir tahun 1995 Ihya mencoba untuk mendirikan bangunan dengan menggunakan uang dari kantong pribadinya dan bantuan dari masyarakat sekitar maupun para simpatisan.

“Kemudian, pada akhir tahun 1995, tepatnya pada 24 Desember 1996, gedung ini diresmikan menjadi Majelis Taklik pak kiyai, yakni pondok pesantren Alutdtruziah (majelis taklik kita ini cabang pertama) dan diperkirakan telah menelan dana sekitar Rp. 1 miliar,” ujar Ihya.

“Meskipun ada yang namanya pusat dan cabang. Tetapi kita tidak disuplai bantuan dana dari pusat yang berlokasi di Kota karang. Bahkan,  disana hanya sebuah madrasah dan tidak ada pesantren atau tempat santri untuk menginap,”ujarnya.

Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada tahun 2002, muncul kecemburuan sosial dari pusat ke cabang. Hal ini karena kondisinya  sangat berbanding terbalik antara pondok pesantren Alutdtruziah yang berada di pusat.

“Waktu itu, Ponpes pusat, tidak ada santri, sedangkan Ponpes cabang memiliki banyak santri. Akhirnya pada tahun 2002, Ponses pusat tidak memperbolehkan ponpes cabang untuk memakai nama Alutdtruziah lagi,”ungkapnya.

Mendengar hal tersebut, kemudian Ihya mencoba berkunjung ke Pondok Pesantren yang telah membesarkannya itu, yakni Madarijul ‘Ulum di Banten untuk menjalin tali silaturahmi dan bercerita mengenai permasalahan yang sedang dihadapinya.

“Alhamdulillah ponpes itu memperbolehkan saya untuk memakai nama yang sama, yakni Madarijul ‘Ulum, dengan ketentuan pohon pisang (bukan antara pusat ataupun cabang), tetapi tidak mempermasalahkan apabila ponpes Madrijul Ulum Bandar Lampung bisa lebih maju ketimbang di Banten,”ujarnya.

Begitu, ponpes Alutdtruziah pusat mengetahui bahwa ponpes cabang telah berganti nama, maka diharamkan untuk menempati tempat bangunan yang lama, meskipun secara mutlak, bangunan pondok pesantren itu dibangun sendiri oleh Ihya.

Melalui mediator, Ihya sempat meminta untuk menetap sementara selama dua tahun di bangunan yang ia buat sendiri di atas tanah wakaf. Namun hal itu tak diperbolehkan Ihya kemudian diusir dan diminta angkat kaki. Ihya kemudian mengoper para santrinya ke ponpes lain.

“Lucu kan, kami yang mengelola santri begitu banyak malah  diusir oleh ponpes pusat. Lucu nya lagi, tanah wakaf itu diserahkan kembali ke keluarga pewakaf (keluarga Abdul Manaf) dan sekarang dibuat madrasah,”ujarnya

Kemudian, memasuki tahun 2005, Walikota Bandar Lampung, Suharto melihat kegigihan Ihya dalam membangun Ponpes, akhirnya, orang nomor satu di Kota Tapis Berseri ini menghibahkan tanah seluas 3 hektare untuk Ihya agar dapat kembali membangun ponpes.

Ia menceritakan, setelah itu, Ponpes Madarijul ‘Ulum hanya memiliki 9 orang santri dari tempat sebelumnya. Dengan bermodal keyakinan kepada Allah SWT, ke 9 orang santri ini secara bergiliran dititipkan ke tetangga sekitar, baik untuk pengajian maupun menginap mereka.

“Waktu itu, sepotong bambu pun tidak ada. Tetapi alhamdulillah, dalam kurun waktu 11 tahun, Ponpes Madarijul ‘Ulum sudah memiliki 22 kelas dengan total 386 santri yang berasal dari luar maupun dalam Lampung dan asrama dengan kapasitas 600 santri,”ujarnya.

Selanjutnya, untuk menarik minat masyarakat untuk menjadi para santri di Madarijul ‘Ulum, dirinya melakukan sosialisasi saat mengisi ceramah di masjid yang mengundangnya.

“Dari sana, saya coba menarik minat orang untuk menjadi santri Madarijul ‘Ulum melalui 2 program unggulan, pertama, santri bisa gapah membaca kitab kuning dalam waktu 4-6 tahun. Kedua dapat menghapal qur’an dalam waktu 2 tahun,”pungkasnya (*)

Laporan Arif Wiryatama, Wartawan Jejamo.com

Populer Minggu Ini