“Children make you want to start life over”
(Anak-anak membuatmu ingin memulai hidup yang lebih baik)
Muhammad Ali
Oleh Adian Saputra
Jurnalis Jejamo.com
Kutipan yang disampaikan legenda tinju dunia itu sangat bagus dan menyentuh. Anak di masa depan adalah penerus generasi orangtua mereka. Posisi anak sangat penting sebagai penerus keturunan dan sejarah keluarga.
Maka itu, penguatan di dalam keluarga adalah hal yang mutlak untuk dilakukan. Peran ayah dan ibu sebagai entitas utama dalam keluarga mempunya urgensi yang tinggi. Boleh dibilang, kunci sukses anak di masa depan memang ditentukan dari peran orangtua di dalam keluarga.
Namun, kompeksitas kehidupan sekarang membuat peran keluarga tereduksi. Perkembangan teknologi dengan sebaran gawai yang makin mutakhir, membuat anak renggang dengan orangtua. Mereka lebih dekat kepada kawan sepermainan dan menjadikan karibnya itu sebagai teman bercerita. Kesibukan orangtua, baik ayah maupun ibu yang bekerja, bisa menjadi penyebab anak tidak lagi menjadikan keduanya sebagai patron utama.
Kalau kita menyigi beberapa kejadian yang terekspos di media massa, kita akan mengelus dada. Betapa tidak, anak-anak, khususnya pelajar, makin tereduksi sisi moralitasnya. Maka, kita membaca ada banyak kasus kenakalan dan kejahatan anak di lingkungan, di sekolah, dan lingkup pergaulan mereka.
Ada remaja yang menghardik polisi ketika ditilang dan menyebut ayahnya seorang jenderal polisi berbintang tiga. Ada anak yang menganiaya guru, ada pula remaja yang menjadi aktor utama pembegalan, dan sebagainya.
Jika kita menarik lebih dalam sumber masalahnya, itu ada pada lingkungan keluarga. Senarai dalam opini ini ingin mengetengahkan sis penting penguatan komunikasi antara orangtua dan anak untuk menyertai kesuksesan anak di masa depan. Ini menjadi penting dalam kondisi kekinian karena banyak ayah dan ibu yang bekerja sehingga pertemuan dengan anak menjadi sedikit. Intensitas mereka untuk bercengkerama dengan anak menjadi minim. Dan ini dikhawatirkan membuat anak menjadi lepas kendali dan mencari pelarian di dunia luar. Alih-alih membanggakan, perilaku represif anak akan menjadi masalah untuk orangtua dan diri mereka sendiri.
Perihal waktu komunikasi yang berkurang dengan anak menjadi sebuah keniscayaan ketika kedua orangtua memiliki pekerjaan di luar. Taruhlah misalnya delapan jam orangtua bekerja sehingga perjumpaan dengan anak menjadi berkurang. Belum lagi bagi orangtua yang memiliki tingkat dinamika kerja yang tinggi dan membutuhkan lembur. Alhasil, pertemuan dan komunikasi dengan anak kemudian menjadi sedikit.
Meski demikian, kita tidak serta-merta menyalahkan kondisi ini dan pasrah dalam mengelola anak di rumah. Psikolog yang juga dosen Bimbingan Konseling Universitas Lampung Shinta Mayasari kepada penulis mengatakan, di dalam setiap hubungan, komunikasi memegang peranan penting.
Namun, kesibukan orangtua bekerja membuat terbatasnya waktu untuk berkomunikasi dengan anak. Meskipun demikian, pada prinsipnya komunikasi melibatkan dua tindakan, yakni mendengar dan berbicara. Apabila kita dapat melakukan dua tindakan ini dengan efektif, waktu tidaklah menjadi sebuah persoalan.
Saat berkomunikasi dengan anak, ujar Shinta, orangtua perlu mendengar secara efektif. Sebaiknya baik orangtua maupun anak sama sama menghentikan aktivitas yang saat itu sedang dikerjakan dengan seketika. Jika kita menghentikan aktivitas, kita bisa berkomunikasi sambil saling menatap atau memberikan sentuhan pada anak.
Dalam praktik di rumah, ada baiknya ponsel yang digunakan sebagai alat kerja dan berkomunikasi dengan sejawat kerja dan orang lain, dimatikan. Ini untuk menjamin bahwa proses mendengar di kedua belah pihak terjadi dengan baik dan efektif.
Di sini kita membutuhkan apa yang disebut sebagai kehangatan. Saling memberikan respon dalam tatap mata antara orangtua dan anak akan melahirkan kehangatan. Anak akan merasa dihargai karena orangtuanya mau mendengatr cerita mereka seharian di sekolah. Anak akan merasa bangga ayah dan ibunya mau terlibat dalam setiap proses yang ia ceritakan.
Shinta menambahkan, dengan waktu yang terbatas, akibat orangtua bekerja, maka sebaiknya orangtua menciptakan ritual komunikasi dengan anak, amati kapan waktu waktu dimana anak antusias berbicara, apakah saat pagi hari, sepulang sekolah, atau malam hari.
Biasanya setiap anak punya momen aktif berbicaranya secara unik. Orangtua dapat memanfaatkan momen aktif anak ini untuk menjalin komunikasi.
Bila ini dilakukan selama 20 menit setiap hari secara rutin, itu dapat membantu mengefektifkan proses komunikasi orangtua dan anak. Saat berbicara dengan anak, orangtua dapat memulai memberikan contoh dengan cara menceritakan terlebih dahulu pengalamannya di hari tersebut. Hal ini dapat menstimulasi anak untuk merespons dengan menceritakan pengalamannya di hari tersebut.
Sambil anak bercerita, orangtua bisa bertanya dengan menggunakan pertanyaan yang bersifat terbuka, misalnya, menggunakan kalimat “bagaimana”, “bisa kamu ceritakan”, dan lain-lain.
Hal ini merangsang anak untuk banyak bercerita, bahkan menceritakan sebuah kisah yang panjang dari awal hingga akhir.
Di akhir cerita anak, orangtua dapat merangkum kisah yang disampaikan anak, sehingga anak merasa orangtua mendengarkan dan menghargai mereka. Dalam berkomunikasi, orangtua dan anak juga perlu membiasakan diri mengungkapkan emosi dan perasaan mereka. Jadi bukan hanya menceritakan pengalaman saja, namun tanyakan juga pada anak apa yang ia rasakan tentang situasi yang diceritakan. Hal ini dapat mempererat hubungan emosional orangtua dan anak.
Dalam berbagi cerita dengan anak,orangtua ortu dapat mengajak anak mendiskusikan nilai-nilai moral yang terkandung dalam setiap pengalaman. Orangtua juga dapat mengajak anak membayangkan jika situasi yang sama terjadi, respons apa yang lebih tepat dilakukan oleh anak.
Perlu dipahami, terkadang anak anak bertindak spontan tanpa pemikiran yang matang tentang sebab akibat. Membiasakan anak memahami pesan moral dari setiap peristiwa dapat membantunya lebih matang dan dewasa.
Pada dasarnya, baik kualitas maupun kuantitas waktu berkomunikasi dengan anak, sama-sama memegang peranan penting. Jika kita kaitkan dengan usia dan perkembangan anak, saat usia anak masih kecil, kuantitas waktu berkomunikasi dengan anak sangat penting. Sebab, anak-anak juga masih memiliki banyak waktu luang yang dapat ia habiskan dengan orangtua.
Namun, sejalan dengan pertambahan usia anak, tentu anak juga memiliki kesibukan dengan berbagai aktivitas hariannya. Di sinilah kualitas waktu komunikasi orangtua dan anak diperlukan. Namun, baik secara kuantitas maupun kualitas, keduanya akan percuma bila tidak disertai dengan adanya kehangatan dan sensivitas dari orangtua terhadap anak saat berkomunikasi.
Oleh sebab itu, penekanan ada pada orangtua. Saat mendengar cerita anak, baik itu soal keseharian di sekolah, cita-citanya di masa depan, dan sebagainya, orangtua mesti menunjukkan antusiasme yang tinggi dalam mendengar.
Menjadi seseorang yang terampil dalam berbicara sebetulnya mudah dilakukan. Ilmu public speaking diadakan untuk mendukung seseorang agar lincah dalam menyampaikan gagasan di depan orang banyak. Namun, piawai dalam mendengar barangkali tidak dimiliki oleh setiap orang. Sebab, pada dasarnya, orang itu lebih suka didengarkan ketimbang mendengarkan. Orang lebih suka berbicara ketimbang mendengar pembicaraan orang lain.
Tapi karakter orang cerdas itu ada pada keduanya. Dalam Alquran Surat Az Zumar ayat 56 diterangkan, “Yaitu orang yang mau mendengarkan perkataan seseorang. Lalu mengikuti yang terbaik dari perkataan itu. Merekalah orang yang dirahmati Allah, merekalah orang-orang cerdas.”
Dalam konteks penguatan di dalam keluarga, sudah barang tentu orangtua mesti pandai mendengar. Sikap yang selama ini mungkin hanya ingin menceramahi, memberikan motivasi, memberikan petuah ini dan itu, mesti diganti dengan suka mendengarkan, meresponsnya dengan hangat, menatap anak dengan mata berbinar, dan sebagainya. Dari situ kehangatan dua puluh menit dalam sehari menjadi item penting dalam pendidikan anak di rumah tangga.
Sehingga isu yang menjadi penting adalah respons orangtua itu sendiri saat berkomunikasi dengan anak, apakah ia benar-benar menunjukkan keterlibatan interaksi yang positif atau tidak.
Ayah dan ibu memegang peranan kunci saat komunikasi yang hangat ini dibangun. Keduanya mesti kompak, satu suara, satu aksi. Jangan sampai hanya ibu yang tekun dan saksama menyimak dan merespons, sedangkan pikiran ayah masih dipenuhi beban kerja di kantor.
Suasana seperti ini akan membuat anak terbuka untuk bercerita tentang keseharian dan visinya dalam pendidikan. Yang penting, orangtua mau mendengar semua hal yang menjadi keinginan anak. Dari sana, orangtua bisa memetakan ke mana anak ini hendak diarahkan. Tentu dengan melihat kapasitas dan kapabilitasnya sejauh ini.
Ada banyak media yang bisa digunakan untuk mengetahui potensi anak. Bisa dengan melihat keseharian dia, melihat hal-hal paling kuat yang tertanam pada anak, memperhatikan hobinya, juga melihat tes IQ atau tes sidik jarinya. Setidaknya, dari sana, orangtua mempunyai bahan untuk mengarahkan anak pada model pendidikan yang paling tepat, model sekolah yang paling pas, cara belajar yang paling nyaman. Dan yang lebih utama, bagaimana menyikapi anak dalam belajar dan pengetahuan dia soal edukasi.
Sebab, tak semua anak membawa potensi yang sama. Pasti ada perbedaan. Mereka tumbuh dengan potensi masing-masing, talenta masing-masing, kekuatan dan kelemahan masing-masing. Karena itulah, ini mesti didiskusikan, dibicarakan, sehingga menjadi tanggung jawab semua.
Dengan komunikasi yang hangat, wabilkhusus dalam konteks pendidikan, anak akan mempunyai tanggung jawab. Bahwa apa yang dipilihnya itu adalah berdasar kehendaknya dengan panduan orangtua. Tidak ada bahasa pemaksaan dalam komunikasi ini. Yang ada adalah saling memberikan ide, gagasan, untuk mencapai kesepakatan hangat yang paling optimal.
Pendeknya, dalam merealisasikan komunikasi yang hangat ini, sebenarnya orangtua juga melatih anak merencanakan tindakan dan bertanggung jawab. Hal ini bisa diterapkan untuk membahas isu-isu kehidupan anak yang lebih serius, disesuaikan dengan usia anak.(*)