Jejamo.com, Bandar Lampung – Ada kalanya, berita media massa tentang korban pemerkosaan, justru ikut “memerkosa” korban itu sendiri. Pilihan diksi dan juga penceritaan detail hal ihwal pemerkosaan, kemudian menjadikan media “pemerkosa” selain si pemerkosa aslinya.
Untuk itu, media massa didorong agar bijak dalam memberitakan korban pemerkosaan, khususnya lagi yang masih terkategori anak-anak.
“Media harus memilih kata yang benar. Bisa jadi perkosaan secara bahasa ada trauma sendiri. Jika media massa memberitakannya secara detail terhadap korban, sama saja media massa ikut memerkosa,” kata Koordinator Program Damar Sofyan Hadi kepada peserta coaching clinic yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung di Gedung  Asilo Hermelink, Jalan Zainal Abidin Pagaralam, Sabtu, 27/8/2016.
Hadi menambahkan, yang diharuskan dilakukan media massa adalah tidak menampilkan kronologis secara detail. Sebab, ini bisa mengganggu psikologis korban.
“Jangan pula menjual berita eksploitasi dalam konteks pemerkosaan,” lanjutnya.
Selain Hadi, ikut menjadi pemateri dalam acara ini Ketua Bidang Perempuan dan Kelompok Marginal AJI Indonesia Hesti Murti. Acara diikuti belasan jurnalis dan aktivis pers mahasiswa di Bandar Lampung.
Sekretaris AJI Bandar Lampung Wandi Barboy Silaban menambahkan, massa sering melupakan perspektif dari korban.
“Media massa harus belajar memahami perspektif korban dan psikologis korban. Media diharapkan berempati terhadap korban, tidak melulu hal yang dari sisi tersangka dan penegakan hukumnya,” ujarnya.(*)
Acara ini adalah rangkaian HUT ke-22 AJI. Besok malam, akan diadakan Malam Penganugerahan Saidatul Fitriah dan Kamaroeddin.(*)
Laporan Andi Apriyadi, Wartawan Jejamo.com