Jejamo.com, Bandar Lampung – Sebanyak 17 dokter hewan dari Lampung, Bengkulu, dan Sumatera Selatan mengikuti pelatihan untuk mengurangi risiko kematian harimau sumatera dalam konteks konflik dengan manusia.
Pelatihan diadakan WCS-IP, Balai Besar TNBBS, dan Balai Taman Nasional Way Kambas (TNWK) di Lembah Hijau, Bandar Lampung, 25-26 Agustus 2016. Demikian rilis yang diterima jejamo.com.
Menurut Country Director WCS-IP Noviar Andayani, tujuan pelatihan dokter hewan ini untuk mengurangi resiko kematian harimau sumatera akibat konflik dengan manusia, serta menyiapkan dokter yang tanggap darurat jika terjadi konflik.
“Kami memerlukan dokter hewan untuk menangani konflik ini, sekaligus proses relokasi harimau yang menjadi korban konflik,” kata Noviar Andayani.
Selain menyelamatkan satwa langka, Noviar menjelaskan, dokter hewan juga diarahkan memantau kesehatan ternak milik masyarakat sekitar kawasan taman nasional. Tujuannya meningkatkan produktivitas ternak milik masyarakat desa yang rawan konflik.
Pelatihan dokter hewan ini, menurut Noviar, merupakan pelaksanaan Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 48 Tahun 2008 sekaligus sosialisasi dan pemahaman pedoman penanggulangan konflik antara manusia dan satwa liar.
Beleid tersebut diterbitkan untuk mengatasi dan mencari solusi dari konflik yang sering terjadi di wilayah sekitar habitat satwa liar.
“Setelah pelatihan diharapkan bisa terbangun jaringan dokter hewan di daerah, serta mendukung Pemda setempat menerapkan Permenhut No 48 Tahun 2008,” jelas Noviar.
Penanganan satwa yang terluka dalam konflik manusia-satwa liar sangat penting untuk menjaga kelestarian satwa di TNBBS, terutama harimau sumatera. TNBBS adalah salah satu bentang alam prioritas yang digunakan untuk pemulihan populasi yang luas wilayahnya mewakili keseluruhan populasi harimau di Sumatera bagian selatan. Sehingga, peningkatan kapasitas terhadap dokter hewan di sekitar TNBBS secara tidak langsung akan menjaga kelestarian harimau sumatera.
Konflik manusia-harimau menjadi permasalahan yang tidak kunjung usai, mengingat luasnya areal konflik, tingginya jumlah insiden, dan keterbatasan sumber daya pemerintah.
Ketersediaan tenaga medis satwa liar atau dokter hewan yang mampu memberikan pengobatan terhadap harimau terluka, ataupun melakukan translokasi harimau karena ancaman manusia menjadi program penting yang harus ditangani dengan serius. Dokter hewan harus ada di setiap lokasi konflik tingkat kabupaten.
Jumlah tenaga medis satwa liar masih sangat terbatas. Dokter hewan di tingkat kabupaten bertugas di bawah koordinasi Dinas Peternakan dan Pertanian berfungsi membantu masyarakat dalam pengobatan dan perawatan hewan ternak.
Kepala Balai Taman Nasional Way Kambas, Subakir menjelaskan, WCS-IP memfasilitasi kegiatan peningkatan kapasitas dokter hewan agar setelah pelatihan terbentuk jaringan dokter hewan dan rencana kerja sistematis, serta memastikan internalisasi program penanganan konflik manusia-satwa liar ke dalam program pemerintah daerah tingkat kabupaten.
Pelatihan dokter hewan yang diikuti oleh 17 dokter hewan dari berbagai daerah hotspot konflik di Lampung, Bengkulu, dan Sumatera Selatan. Materi yang diberikan erat kaitannya dengan penanganan satwa pasca konflik, baik dalam hal teknis maupun kebijakan terkait Permenhut Nomor P.53 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Permenhut Nomor P.48 Tahun 2008 tentang
Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar, implementasi Permenhut No. 48/2008, prosedur penanganan satwa liar, obat-obat serta teknik yang digunakan. Peserta tidak hanya diberikan materi secara teoritis namun juga praktek langsung di RS Hewan Prof. Dr. Ir. Rubini Atmawidjaja, Way Kambas, dan Taman Satwa Lembah Hijau.
Pemateri yang mengisi acara ini adalah Erni Suyanti dan Wisnu Wardana, yang merupakan dokter hewan yang berpengalaman dalam masalah penanganan konflik satwa liar seperti harimau sumatera.
WCS-IP Southern Sumatra sendiri membawahkan Wildlife Response Unit (WRU), unit penanganan konflik manusia-satwa liar dari WCS-IP. WRU bekerja di tiga wilayah prioritas WCS-IP yakni lansekap Bukit Barisan Selatan, lansekap Way Kambas, dan lansekap Gunung Leuser.
WRU melakukan kegiatan respon terhadap konflik manusia dengan satwa liar yang terjadi, sekaligus pendataan kerugian terhadap konflik tersebut, bekerja sama dengan pemerintah setempat.
WRU merespons konflik dilaksanakan, baik berdasarkan laporan warga, maupun lewat patroli rutin yang dilakukan di desa yang rawan konflik. Respons dilakukan dalam bentuk penanganan maupun pencegahan, yakni dengan sosialisasi metode penanganan konflik yang aman bagi manusia maupun satwa.
Tim WRU juga memperkenalkan konsep kandang anti serangan harimau atau Tiger Proof Enclosure (TPE) kepada masyarakat yang beternak sapi, kambing maupun kerbau untuk menghindari korban ternak akibat serangan harimau.(*)