Oleh Ahmad Irzal Fardiansyah
Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung
Penegakan hukum selama ini selalu dilihat sebagai proses formal dari setiap norma hukum yang ada. Hal ini tentu beralasan, karena doktrin yang dibangun adalah penegakan hukum merupakan semata penegakan hukum formal. Padahal, dalam setiap penegakan hukum seharusnya jangan sampai mengenyampingkan keadilan materiil. Bahkan inilah yang seringkali menjadi harapan, namun tidak pernah terwujud.
Selain keadilan materil, ada aspek lain yang sejatinya muncul, yakni aspek cost and benefit ratio. Terasa janggal bila kita menafsirkan secara kasat mata. Namun akan lebih dapat dipahami bila sudah dalam tataran aplikasi penegakan hukum. Beberapa contoh dapat kita lihat sebagai kerugian dari penegakan hukum yang tidak mempertimbangkan cost and benefit ratio dalam implementasinya, yakni beberapa kasus yang merupakan tindak pidana korporasi.
Dengan sistem yang mengabaikan cost and benefit ratio, maka akan muncul dampak sistemik lain yang merugikan. Misalnya sebuah korporasi dimana pengurus melakukan tindak pidana, hal ini diidentifikasi pula sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Dampaknya adalah, korporasi menanggung sanksi, mulai dari teguran hingga pembubaran (tidak diizinkan untuk beroperasi kembali).
Aspek inilah yang tampaknya kurang jeli dilihat oleh penegak hukum ataupun pemerintah dan lembaga pembuat Undang-Undang. Jika sebuah korporasi yang pengurusnya melakukan tindak pidana, dan kemudian korporasi turut menjadi bagian dari pihak yang diberi sanksi, maka side effect akan muncul.
Misalnya PHK masal, berkurangnya pajak yang diterima Negara, hilangnya aset korporasi. Hal tersebut dapat menjadi beban bagi penegakan hukum. Hal ini memang mengedepankan orientasi dari penegakan hukum. Bila penegakan hukum berorientasi pada penegakan undang-undang, maka yang terjadi adalah seperti yang dijelaskan di atas.
Bila penegakan hukum juga memperhatikan berbagai hal, termasuk cost and benefit ratio, maka yang terjadi adalah penegakan hukum dilakukan dengan memperhatikan aspek kebaikan dan keburukan saat penegakan hukum dilakukan.
Bila penegakan hukum menimbulkan efek yang tidak positif, bukankah lebih baik dicarikan solusi lain dimana hukum tetap ditegakkan, namun pada sisi lain tidak ada PHK masal, roda korporasi tetap berjalan, sehingga pajak dari korporasi tersebut tetap didapat oleh Negara. Solusi lainnya dapat berupa alternative sanksi yang diberikan bagi korporasi.
Misalnya korporasi cukup mengganti kerugian kepada Negara apabila ada kerugian, dimana korporasi tetap diberikan izin untuk beroperasi, sehingga karyawan tidak ada yang diberhentikan, tidak menimbulkan pengangguran baru yang dapat membebani kondisi Negara, serta Negara tetap dapat memperoleh pajak dari korporasi yang tetap beroperasi, beriring dengan menjatuhkan pidana bagi penyelenggara korporasi bila terbukti melakukan tindak pidana.
Artinya sanksi yang diberikan bagi korporasi cukup sampai level mengganti kerugian, tidak sampai dipailitkan, dengan beberapa kemudahan sehingga korporasi tetap dapat menjalankan kegiatannya. Hal ini bisa dikecualikan bagi korporasi yang memang tidak memiliki potensi lagi untuk berkembang, sesuai dengan penilaian hakim.
Model lain penegakan hukum yang tidak mempertimbangkan cost and benefit adalah penegak hukum yang boros dalam menggunakan uang Negara untuk menangani satu perkara. Misalnya, yang lazim diketahui adalah untuk penanganan satu perkara yang mestinya dapat dilakukan dengan satu kali proses, namun karena penegakan hukum dihitung pembiayaannya untuk tiap satu perkara, maka oleh penegak hukum dibuat menjadi dua perkara, atau tiga perkara.
Tentunya hal ini melupakan prinsip efisiensi dalam penegakan hukum. Beban Negara untuk penanganan satu perkara bertambah. Contoh lain, yang menurut beberapa ahli hukum kita menjadi hal yang krusial untuk dikritisi adalah penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi. Menurut Romli Atmasasmita, yang menajamkan hasil penelitian dari ketua PPATK Muhammad Yusuf, bahwa lembaga khusus penegak tindak pidana korupsi di Indonesia, dalam hal ini KPK, memiliki catatan tidak efisien dalam menggunakan anggaran. Bisa dilihat dari timbal balik kembali uang Negara dari hasil korupsi. Dana yang dipakai KPK untuk menangani perkara korupsi, lebih besar dibandingkan uang hasil korupsi yang dikembalikan kepada Negara.
Terlihat dari rekapitulasi sejak tahun 2009-2014, dimana nilai kerugian Negara yang diselamatkan oleh KPK adalah Rp728,45 miliar, sedangkan anggaran yang dikeluarkan untuk operasional pada kurun waktu tahun yang sama adalah Rp3, 02 triliun.
Perhatian terhadap aspek cost and benefit dalam penegakan hukum menjadikan penegak hukum memiliki sensitifitas terhadap keseimbangan dalam menegakan hukum. Dalam penegakan hukum korupsi, selain pada penindakan, hendaknya pula berorientasi pada pengembalian aset Negara yang dikorupsi.
Apalagi tindak pidana korupsi memang fokus pada adanya kerugian Negara, maka sudah semestinya berorientasi pada pengembalian keuangan Negara. Proses tetap penting, tapi bila mengabaikan fokus penegakan hukum, maka akan menjadi kerugian yang bertumpuk-tumpuk bagi Negara. Ibarat pepatah, lebih besar pasak daripada tiang. Mengejar kerugian Negara dalam perkara tindak pidana korupsi adalah lebih penting dari sekedar memajang koruptor untuk dilihat publik sebagai keberhasilan kinerja.
Sebaiknya ke depan bila harus ada yang diketahui publik, pada angka-angka yang berhasil dikembalikan kepada Negara menjadi hal yang lebih patut dibangggakan.
Tentunya hal ini menjadi pemikiran bersama, agar penegakan hukum di Indonesia, dapat lebih efisien, efektif dan seimbang. Mungkin pula perlu ada revisi terhadap visi penegakan hukum di indonesia, dimana sebelumnya anggaran dikeluarkan berorientasi pada jumlah kasus yang ditangani, menjadi penganggaran yang efisien sesuai dengan kondisi tingkat keamanan di masyarakat. Keberhasilan penegakan hukum dilihat dari semakin menurunnya tingkat kejahatan dimasyarakat, baik skala besar maupun skala kecil.