Jejamo.com, Bandar Lampung – Artikel di bawah ini dikutip jejamo.com dari status Facebook Ustaz Komiruddin Imron, Lc. Ustaz Komiruddin adalah mantan anggota DPRD Lampung Selatan dari PKS.
Doi juga aktif mengisi ceramah di masjid-masjid kampus dan majelis taklim. Ustaz Komiruddin juga aktif menjadi pembina di Perguruan Daarul Hikmah, Gedongmeneng, Bandar Lampung.
Silakan disimak status Facebook Ustaz Komiruddin ini.
Habibati
========
By Komiruddin Imron
Habibati, saya memanggilnya. Entah sejak kapan panggilan itu kusematkan. Setahu saya semenjak HP mulai merakyat, saat itu saya selalu menuliskan kata habibati untuk nomor HP istriku.
Pada tahun 1989, saya melamarnya saat usianya 18 tahun. Persis beberapa hari setelah pengumuman kelulusan siswa SMA. Saya sendiri baru berumur 22 tahun, semester dua Fakultas Syariah LIPIA Jakarta .
Sebelumnya saya tak pernah berinteraksi dan tak pernah berbincang bincang, kecuali saat mengajar ngaji. Itu pun sekadar membenarkan tajwid dalam membaca Alquran.
Ya, setahun sebelum itu saya pernah ditugaskan untuk berdakwah selama 6 bulan di desa di mana ia berdomisili. Sebelum masuk kuliah di Fakultas Syariah di LIPIA Jakarta, ada masa menunggu selama satu semester.
Waktu itulah yang saya pergunakan untuk mengabdi sebagai juru dakwah di desa tempat transmigrasi.
Saya tinggal di masjid yang dibangun Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII). Jadwal kegiatan saya adalah memperkuat keisalaman dari mengisi pengajian bapak bapak dan ibu ibu, remaja, dan anak anak, serta berceramah pada perayaan maulid hari hari besar Islam.
Salah satu yang ikut pengajian Alquran ini adalah dia “Habibati”. Tapi saat itu dia masih kelas 2 SMA dan belum berilbab. Saya tak pernah berpikir dan tak pernah terbayang bahwa setahun setelah itu ia akan menjadi Habibati.
Saya tidak tahu apa yang mendorong saya untuk berkunjung ke desa itu setelah satu tahun. Yang jelas pada pagi itu saya berpamitan kepada ketua takmir masjid, kebetulan beliau yang menggantikan saya sebagai dai di desa itu, bahwa saya ingin pulang ke desa kelahiran saya setelah beberapa hari dari kunjungan itu.
Saya bercerita kepadanya, bahwa saya sudah ingin menikah tapi belum punya pilihan.
Spontan dia bilang, “Bagaimana kalau dengan Mbak Fajar saja. Kemarin orangtuanya nanyain antum?”
Saya terpana lama berpikir sampai akhirnya saya katakan, “Iya ya. Coba antum jajakin orangtuanya, kalau mereka oke dan anaknya oke, Ana siap”.
Pagi itu saya pulang dengan menyimpan sejuta harapan. Perjalan antara desa tersebut dengan kampung halaman saya ditempuh 3 jam dengan mobil bagi saya terasa sebentar.
Lima hari kemudian, datang sepupunya ke rumah menanyakan kebenaran berita tersebut. Saya katakan terus terang bahwa itu benar. Namun saya jadi salah tingkah dan hati saya dagdigdug sebab saya belum pernah cerita kepada orangtua saya bahwa saya mau menikah.
Benar saja, setelah saya ceritakan hal itu kepada kedua orangtua, nampaknya mereka ragu akan keberlanjutan studi saya jika menikah sekarang. Kalau bisa ditunda setelah selesai kuliah.
Saya mencoba meyakinkan dan menjelaskan bahwa menikah tidak akan menghambat kuliah. Malahan akan memotivasi saya agar cepat selesai.
Masalah ma’isyah (penghasilan) tak perlu ditakutkan sebab LIPIA memberikan beasiswa yang cukup lumayan bagi mahasiswanya.
Singkat cerita akhirnya kami menikah dengan sangat sederhana. Kami pun menjalani kehidupan yang alakadarnya, menempati sewaan rumah ukuran 5 x 5 meter yang ruangannya terdiri dari ruang tamu, ruang tidur, dapur + kamar mandi.
Dua tahun pertama pernikahan, saya hanya mengandalkan beasiswa Rp110 ribu per bulan pada tahun itu. Saya tak punya usaha lain. Saya merasakan dengan uang itu cukup dan subhanallah istri yang baru saya kenal setelah menikah ini tidak banyak permintaan.
Dia menerima saya apa adanya. Saya bukanlah orang mampu dari sisi finansial. Dua tahun kami tidur di atas tikar beralaskan papan, tanpa kasur. Saya tidak melihat bahwa ia mengeluh dengan keadaan ini. Kondisi itu kami jalani selama dua tahun.
Pada akhir tahun kedua pernikahan, lahir anak kami yang pertama. Saya pun mulai berpikir mencari tambahan uang.
Tahun 1990-an kebangkitan Islam mulai nampak di kampus kampus. Fenomena wanita berjilbab yang tahun 1980-an belum nampak, tahun 1990-an sudah mulai semarak.
Halakah Alquran dan kajian Islam sangat ramai diikuti. Antusias para pemuda yang dimotori mahasiswa untuk belajar Islam sangatlah tinggi. Buku-buku keislaman berkembang pesat, apalagi terjemahan.
Saya melihat ini adalah peluang. Saya pun mulai menulis ringkasan buku buku rujukan. Masih jelas dalam ingat saya buku pertama saya berjudul “AKIDAH SEORANG MUSLIM”, berupa ringkasan dari berbagai judul buku dengan format buku saku.
Buku ini saya tulis dengan tangan, lalu saya bawa ke biro jasa penulisan. Selesai diketik dan di-print, saya layout sendiri. Beli kertas sendiri lalu saya bawa ke percetakan. Setelah selesai dicetak, masih dalam bentuk kertas, saya susun sendiri dan pasarkan sendiri ke toko-toko yang saat itu banyak bersetebaran.
Saya masih ingat, lebih dari 3.000 eksemplar laku terjual. Dengan keuntungan dari jual buku ini saya bisa tidur nyenyak dan memberikan nafkah kepada anak dan istri saya. Walillahil hamd.
Kegemaran meringkas buku terus berlanjut. Setelah itu ada buku kedua saya yang saya beri judul “Paket Khusus Para Dai”. Ini juga ringkasan materi-meteri dakwah dari berbagai literatur buku.
Sampai akhirnya saya menyelesaikan kuliah di LIPIA tahun 1992 kegiatan ini berhenti karena saya harus pulang ke Lampung.
Buku itu akhirnya saya serahkan ke pada teman saya untuk mencetaknya. Saya hanya dapat royalti sampai tahun 2000. Saya tidak tahu apakah buku tersebut masih dicetak atau tidak.
Sampai sekarang, masih ada satu tulisan tangan saya berupa ringkasan dari berbagai buku yang belum sempat diketik ulang. Saya beri judul “Alquran Pedoman Hidup”.
Saya bertekad paling tidak setiap tahun ada minimal 4 buku karangan saya yang dicetak. Sudah ada dua buku yang sedang di-layout, insya Allah akan terbit setelah Ramadan. Dan sebelum Ramadan, akan terbit satu buah buku yang berjudul “30 Nasihat Ramadan”.
Selama perjalan hidup sampai sekarang, Allah berikan kepada kami rezeki sesuai kebutuhan.
Tahun 2006, saya menulis cita-cita dan keinginan hidup. Alhamdulillah hampir semua keinginan dan cita-cita saya terkabul. Saya sekarang fokus pada pembinaan umat dan membesarkan dan mendidik anak-anak.
Anak yang pertama Asma Nidaul Haqq sudah menyelesaikan studinya di Al Azhar, Cairo. Sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak.
Anak kedua Athiyyah Alhabibah masih kelas 2 SMA di pesanteren Darul Qur’an Mulia di Bogor. Anak ketiga Ikrimah Albasil kelas 3 SMPIT di Lampung.
Dan anak keempat kembar Thoriq dan Kutaibah kelas 1 SMP, fokus menghafal Alquran.
Begitulah sekilas perjalan hidup bersama Habibati. Suka dan dukanya sudah kami reguk bersama. Perjalanan panjang dalam alunan saling membina, saling memahami, saling membimbing, saling melengkapi dan tempat berbagi suka dan duka.
Tepat hari ini, tanggal 27 Mei 2017, usia pernikahan kami sudah mencapai 28 tahun.
Kotabumi, 27 Mei 2017.(*)