Ketua Fraksi PKS DPRD Lampung
“Sesungguhnya di dalam jasad manusia itu ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, menjadi baik pulalah seluruh jasad. Dan jika rusak atau kotor, menjadi rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah, yaitu hati.” (Hadit Riwayat Imam Bukhari dan Muslim dari Nu’man bin Basyir ra)”
Puasa pada hakikatnya adalah ikhtiar kita membersihkan diri dari dosa. Sudah pada dasarnya anak turun dan cucu Nabi Adam adalah personal yang diqadar memiliki dosa. Yang mesti kita lakukan adalah cepat bertobat dengan kesungguhan.
Momentum Ramadan datang kepada kita sebagai momentum membersihkan diri dari dosa. Item hati dalam konteks ini memiliki sisi yang demikian urgen. Pasalnya, dari noktah inilah kita melakukan pertobatan total kepada Allah Swt.
Puasa kemudian menjadi medium kita membersihkan diri hati. Ini sebagai perlambang bahwa secara umum kita tobat atas semua dosa yang kita lakukan. Tentu tak hanya hati yang mempunya kans berbuat dosa.
Semua alat pancaindra kita juga punya peluang yang sama melakukan dosa. Namun, hati adalah panglima karena dari sisi inilah kita masuk ke dalam jurang bernama dosa. Inilah hakikat pembersihan diri kita atau tazkiyatun nafs.
Ramadan adalah bulan tazkiyah. Di dalamnya banyak peranti untuk kita membersihkan diri. Puasa sendiri di mana menahan lapar dan haus serta hawa nafsu menjadi sisi terpenting ibadah ini. Puasa yang benar adalah yang memuasakan semua pancaindra kita dari khilaf dan salah.
Ada bagian lain yang penting dalam bulan Ramadan selain puasa. Beragam ibadah yang kita lakoni di bulan lain menemukan momen istimewa tatkala Ramadan datang. Perihal salat misalnya.
Di lain bulan pun kita tetap salat, baik yang wajib maupun yang sunah. Namun pada Ramadan, ada satu salat yang khas yang tidak bisa ditemui dan dilakukan di bulan lain: tarawih.
Inilah ibadah yang mestinya kita maksimalkan dan tak boleh ketinggalan sehari pun juga. Tarawih mendidik kita membersihkan diri dari dosa. Karena dengan tarawih kita rutin menghadap Allah pasca-isya, baik dengan 11 rakaat maupun 23 rekaat.
Tarawih bukan kemudian menjadi pengganti salat malam, tahajud, atau qiamulail lainnya. Ini adalah ibadah yang mesti kita jaga. Jangan sampai dengan datangnya Ramadan, kita hanya menjaga kontinuitas tarawih dengan mereduksi salat lainnya.
Justru, kita, apalagi dai, ulama, dan tokoh agama, mestinya menambah bobot ibadah dalam porsi yang istimewa. Dengan redaksi lain, ibadah lain selama Ramadan, mestinya makin ditambah secara kuantitas dan kualitas.
Salat duha makin dikencangkan rekaatnya, salat malam juga demikian. Porsi bacaan Alquran yang bisa khatam satu kali dalam sebulan, pada Ramadan mestinya bisa minimal dua sampai tiga kali. Barulah dengan demikian, Ramadan mempunyai efek dalam penyucian jiwa kita.
Jangan justru menjadi kontraproduktif. Merugilah orang yang selama Ramadan, amal ibadahnya sama dengan bulan lain. Dan celakalah kita kalau sampai porsi ibadahnya justru menurun tajam.
Proyek ibadah selama Ramadan ini adalah ikhtiar kita menjadikan hati kita menjadi lembut. Pengalaman penulis yang berkiprah dalam ranah politik membuktikan, bahwa jika kedekatan dengan Allah tidak dijaga, kita akan dilibas oleh pergaulan, oleh zaman, oleh anasir-anasir buruk lainnya. Dengan datangnya Ramadan, inilah upaya kita menjadikan bulan ini tazkiyatun nafs.
Hati akan menjadi keras jika tak ada upaya melembutkannya. Hati akan menjadi kering jika tak ada amal saleh yang menyiraminya. Hati akan menjadi gersang jika tak ada ibadah yang membuatnya sejuk.
Semoga kita bisa menjadikan momentum Ramadan ini sebagai sarana penyucian diri atau tazkiyatun nafs. Wallahualam bissawab.