Ketua Umum IMM Cabang Bandar Lampung
“Sunah serasa wajib atau wajib yang seakan-akan berubah makna menjadi sunah atau lebih lagi mencoba melupakan makna wajib.”
Untukmu para sepuhku
Untukmu para imam dalam hidup kini dan nanti
Untukmu para calon pendampingku
Untukmu para penyemangatku
Untukmu para pewaris uban putih ini
Untukmu para sahabat yang terus menuntun langkah kaki ini dengan tulus
Untukmu para benih-benih yang nanti menjadi seperti aku
Tidak ada salahnya ketika diri ini mencoba untuk mendiktekan kalimat di atas. Kalimat sederhana dari pikiran ini yang mencoba sayang untuk semua. Karena Allah sendiri yang mencoba mendiktekan kalimat itu melalui pikiran ini, sebagaimana Allah berkata dalam kitab Nabi Muhammad Saw:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabara.” (QS Al Asr)
Melihat dan mencoba memaknai tuntunan Allah Swt, diri ini mencoba untuk melakukan langkah kecil itu. Bahwa orang-orang yang saat ini, dulu ataupun nanti sekalipun merupakan orang yang merugi. Oleh karenanya, perlu saling ingat-mengingat satu dengan yang lainnya.
Karena mengingatkan bukan tugas orang tua yang berpeci, bersorban atau muslimah yang berkerudung layak seprei kasur, tugas mulia itu tertampuk dalam hati setiap insan manusia yang ada dalam muka bumi ini.
Karena mengingatkan atau sering kita sebut dengan dakwah tidak harus melulu diatas mimbar dan sedang dengan gagahnya memegang mikrofon. Saling mengingatkan bisa dengan bentuk apa pun, contohnya seperti yang sedang diri ini lakukan melalui tulisan biasa ini.
Ramadan menjadi momen membuktikan betapa tidak mungkin kalimat sederhana di atas akan nampak dalam kehidupan sekitar mata ini. Entah siapa yang mengajarkan mula-mula, kegiataan itu seakan-akan menjadi keterbiasaan yang telah mendarah daging dalam tubuh ini.
Kebiasaan yang secara langsung atau tidak langsung mengajarkan penerus generasi yang nantinya akan menggantikan pemilik uban putih ini berdiri di sini. Pemilik uban yang tidak pernah dan mustahil akan pernah menuliskan cita-cita tidak mulia itu, mana mungkin bisa menginginkan generasi uban putih nanti melakukan kebiasaan-kebiasaan yang salah dan seolah-olah memaksakan untuk menjadi benar.
Semua nampak jelas ketika mulai masuk waktu yang amat dinanti-nantikan pemeluk agama ini ketika telah 13 jam lamanya bergelut dengan segala bentuk hawa nafsunya.
Rumah Allah yang sunyi pada kala matahari mulai di pojok bumi, akan mulai ramai ketika matahari benar-benar akan menghilang dari bola mata ini, dan keindahan yang telah setia menemani selama 13 jam itu akan mencoba digantikan dengan bertaburnya lampu-lampu indah di atas langit yang menutup diri dengan warna biru indahnya.
Manusia itu mulai berkerumunan untuk mencoba memenuhi baris demi baris dan mencoba berharap dapat merasakan bertemunya ia dengan penciptanya. Semua nampak indah di mata dan nampak akan keceriaan dalam setiap insan berbondong-bondong didalam rumah itu.
Namun, pemilik uban ini kembali bertanya dalam hati kecilnya, “kenapa dan kenapa, semua baru bermunculan, kemanakah gerangan selama ini”. Dan hanya kata semoga dan mencoba untuk terus semoga momen indah ini terus berlangsung, agar nantinya pewaris uban ini akan terus merasakan kebiasaan indah ini.
Kerumunan yang biasa kala ritual salat magrib itu akan nampak berbeda ketika kumandang azan salat isya mulai digemuruhkan. Akan nampak pasukan kain serbaputih menjulang dari atas sampai bawah mata kakinya mencoba mendayung-dayung untuk sampai ke rumah Allah itu, disusul dengan pasukan uban putih yang semakin bertambah sampai-sampai pasukan minion pewaris uban putih ikut mengiringi langkah kaki mereka.
Pemandangan indah yang tak biasa kita lihat, dapat dilihat dan dirasakan saat waktu-waktu tertentu yang seolah-olah telah diatur, waktu itu termaktub juga pada Ramadan. Semua dilakukan karena ada ritual yang tak biasa dilakukan oleh umat ini. Ritual yang hanya datang satu bulan dalam jangka 12 bulan lamanya.
Ritual itu banyak orang menyebutnya salat tarawih. Dan bisa dipastikan kerumunan pasukan itu datang untuk melakukan ritual yang tak biasa ini.
Dan dengan sendirinya akan hilang mengikuti hilangnya bulan Ramadan ini, nampak berbeda dengan salat zuhur, asar, atau magrib sekalipun. Atau bisa kita katakan pasukan itu alergi dengan panasnya matahari, atau juga bisa kita katakan pasukan itu adalah mahluk nokturnal yang lebih suka beraktivitas pada malam hari.
Kebiasaan itu seolah mengiyakan dan “mendahulukan sunah ketimbang wajibnya”. Padahal Allah Swt dalam kitabnya memerintahkan untuk mengiyakan wajib dan sunah sebagai penyempurna wajib itu.
Sudah jelas bukan, bahwa apa yang ada dalam pandangan kita akhir-akhir ini menjadi momen indah pada sejatinya, tetapi terdapat kekeliruan yang mengharuskan diri ini mengungkapkan pesan dan keluh kesah ini, mungkin kebiasaan itu bisa tidak mungkin apa yang saya lakukan.
Atau bisa jadi ini pengalaman kamu yang sedang membaca tulisan ini, ikut berbondong dan menjadi mahluk nokturnal. Semoga makhluk itu bisa membiasakan kebiasaan ini, bukan hanya menjadi mahluk nokturnal, melainkan makhluk yang tak takut dengan panasnya sinar matahari sekalipun.(*)