Jejamo.com – Keberadaan nasi liwet saat ini tengah tren dan digemari masyarakat Indonesia. Di bulan Ramadan, tak sedikit pengelola rumah makan yang menawarkan menu nasi liwet. Sebagian orang menyebutnya bancakan, menyantap nasi liwet bersamai-ramai.
Olahan nasi di Indonesia banyak ragamnya. Termasuk teknik liwet yang cukup dikenal di nusantara. Dua yang banyak diketahui oang adalah nasi liwet Solo dan nasi liwet khas Sunda. Apa saja perbedaannya?
Tentu mulai sejarah, memasak, hingga penyajiannya berbeda. Berikut ini kami lansir dari KompasTravel yang merangkum sejarah keduanya.
Proses ngliwet sendiri merupakan teknik memasak nasi dengan cara mencampur beras dan air, bisa air putih ataupun air santan, dalam satu tempat khusus.
Tempat tersebut bisa ketel, kastrol, atau dandang dan dimasak hingga matang, sama seperti prinsip rice cooker di zaman modern.
Ngliwet juga identik dengan proses memasak dengan memasukkan bumbu seperti daun salam dan garam ke nasi dan air yang sedang dimasak. Bahkan ngliwet di Sunda juga memasukkan lauk seperti ikan asin ke dalamnya.
“Nah setelah proses ngliwet itu baru dikasih macam-macam set menu, atau aneka lauk seperti ayam opor untuk liwet solo, telur dadar teri untuk di Sumatera, lauk yang digoreng-goreng biasanya untuk nasi uduk jakarta dan yang lainnya,” ujar Murdijati Gardjito, ahli gastronomi yang juga peneliti di Pusat Studi Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada.
Nasi liwet Solo berasal dari suatu daerah bernama Desa Menuran, Sukoharjo, Jawa Tengah. Di desa tersebut nasi liwet dibuat oleh warganya dengan tujuan konsumsi pribadi dan dijual kepada masyarakat Solo.
“Pada 1934 nasi liwet mulai dijual keluar Solo hingga Mangkunegaran tertarik dan jadi santapan mereka juga,” ujar Murdijati.
Saat ini di Solo terdapat beberapa konsentrasi para penjual nasi liwet, di antaranya dekat Mangkunegaran dan Solo Baru.
Sedangkan nasi liwet khas Sunda berasal dari masyarakat perkebunan yang membekali dirinya dengan nasi untuk makan dari pagi hingga siang di ladang. Agar nasi tersebut tetap hangat, dibawalah nasi tersebut bersama ketelnya atau alat memasaknya yang bisa ditutup rapat.
“Kalau (nasi liwet) Sunda bukan untuk dijual, tapi konsumsi sendiri untuk penghematan di kebun. Karena kebunnya jauh dari mana-mana,” ujarnya.
Murdijati sendiri tak tahu pasti asal lokasinya, karena tatar Sunda dahulu merupakan luasan perkebunan, bukan seperti pedesaan yang ada di daerah Jawa Tengah.
Proses memasak keduanya secara garis besar sama, dengan menggunakan teknik liwet. Namun, yang membedakan ialah dalam memasak liwet Solo menggunakan air santan yang dicampur dengan beras saat memasak sedangkan liwet Sunda tidak.
“Di Sunda, liwet memakai bumbu: garam, bawang merah, bawang putih, daun salam, sereh, lengkuas, cabai, santan, minyak kelapa dan ikan asin, bergantung selera. Dicampur langsung pas setengah matang,” ujar Teddi Muhtadin, dosen Sastra Sunda Universitas Padjajaran.
Menurut Murdijati, ragam masakan daerah Sunda lazimnya tidak lazim menggunakan santan kelapa. Hal ini sangat mungkin karena letak geografis tanah Sunda yang mayoritas perkebunan, jauh dari pantai yang menghasilkan kelapa.
Menurut sejarahnya, nasi liwet Sunda selalu disajikan dalam ketelnya atau kastrol, tempat memasak nasi tersebut. Dengan tujuan nasi tetap hangat dengan ditutup rapat.
Nasi liwet khas Sunda juga disajikan bersama lauk yang sudah bersatu dengan nasi. Seperti ikan peda merah, ikan kembung yang sudah dipindang, bisa juga ikan asin. Tak lupa lalapan dan sambal terasi menjadi pasangan setia.
Sedangkan nasi liwet Solo pada asalnya disajikan dengan ragam lauk seperti ayam opor, sambal goreng jipang, dan yang tak boleh lupa ialah areh.
“Areh itu ciri khas nasi liwet solo yang merupakan endapan atau gumpalan santan. Jadi selain menambah gurih, proteinnya juga tinggi seperti daging,” tambah Murdijati.(*)