Ketua DPC PKS Kemiling Bandar Lampung
Reformasi membuka ruang dan jalan bagi siapa pun di negara ini untuk menjadi apapun tanpa mempermasalahkan suku, agama, dan lain sebagainya. Siapa pun berhak menjadi apa pun. Reformasi telah memberi angin segar bagi berjalannya demokrasi di Indonesia.
Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005.
Seseorang bisa terpilih menjadi kepala daerah walaupun dukungan partai minim. Melalui pilkada langsung tokoh-tokoh memungkinkan menang walau dengan dukungan partai yang minim. Asalkan bisa menggalang dukungan yang besar dari masyarakat.
Rakyat dapat memilih langsung kepala daerahnya sesuai penilaian pribadi mereka. Tentu setiap pilihan akan sangat memperhatikan latar belakang, rekam jejak, dan citra para calon yang ada.
Dalam teori survei manapun, tentu saja calon kepala daerah yang memiliki angka popularitas paling tinggi sangat berpeluang akan dipilih oleh masyarakat. Hanya saja popularitas seperti apa yang melekat di diri calon sehingga itu menjadi daya tarik masyarakat untuk menetapkan hati dan memberikan dukungannya.
Melihat perjalanan pilkada demi pilkada yang ada di Indonesia, khusus mengambil contoh perjalanan menuju pilgub Lampung 2018. Ada catatan kritis yang coba kami rangkum.
Kami mencoba mengaitkan catatan kritis Pemilihan Gubernur Lampung dengan dua kata yang menjadi tema dari tulisan ini: Kerja dan Citra.
Ada keunikan pada pemilihan Gubenur Lampung di 2018 nanti, yaitu hampir semua calon yang akan berkompetisi sama-sama telah memiliki rekam jejak kepemimpinan dan kinerja di daerah yang dipimpinnya.
Kita ketahui hampir semua kandidat yang diprediksi akan berkompetisi dan masuk lima besar survei, semua memiliki pengalaman kerja memimpin daerah maupun instansi.
Ada Gubernur petahana Lampung M Ridho Ficardo, Wali Kota Bandar Lampung Herman HN, Bupati Lampung Tengah Mustafa, dan Bupati Lampung Barat Mukhlis Basri, serta mantan Sekda Lampung Arinal Djunaidi.
Hal ini tentunya semakin membuat masyarakat Lampung sebagai pemilih menjadi lebih mudah dalam mempelajari profil calon gubernurnya.
Seseorang menjadi sangat terkenal tentu saja dipengaruhi oleh sebuah label dan objektivitas pengakuan. Dalam konteks memilih pemimpin, hasil kerja dan citra yang dibangun akan menjadi sebab masyarakat memilihnya.
Logika sederhana, pemimpin yang memiliki rekam jejak kerja yang baik, tentu saja menjadi kandidat yang berpeluang untuk dipilih.
Bicara tentang objektivitas pengakuan masyarakat tentang sosok pemimpin yang berhasil dalam memimpin sebuah daerah maupun instansi, tentu masyarakat dapat melihatnya pada hasil kerja yang telah dilakukan dari masing-masing calon.
Dalam kasus Pilgub Lampung, dari beberapa bakal calon, sudah selayaknya sebagai pemilih aktif kita harus memilih yang terbaik dan tepat untuk memimpin propinsi ini lima tahun ke depan.
Ini bisa kita lakukan dengan pendekatan sederhana, yaitu dengan membandingkan kinerja dari masing-masing calon yang ada.
Bila dinilai kinerja petahana saat ini cukup baik dan layak dan tepat untuk memimpin provinsi ini lima tahun ke depan, layaklah beliau kita beri kesempatan kembali.
Namun bila dinilai kinerja petahana saat ini buruk dan tidak layak untuk memimpin kembali provinsi ini lima tahun ke depan, maka tentu saja sangatlah ceroboh bila sebagai pemilih kita memilihnya kembali. Tentu saja penekanan dua paragraf di atas juga berlaku untuk bakal calon yang lain.
Bila dinilai kinerja Herman HN, Mustafa, Mukhlis Basri, dan Arinal Djunaidi baik dan salah satu dari mereka adalah yang terbaik dan tepat untuk memimpin Lampung, sudah sepantasnya kita berikan kesempatan.
Namun bila kinerja keempat bakal calon tersebut selama memimpin daerah dan instansinya masih di bawah kerja petahana saat ini, tentu saja amatlah ceroboh bila kita memilih salah satu di antaranya.
Prinsipnya dalam memilih pemimpin ada dua kaidah yang menjadi acuan. Bila dari beberapa calon semuanya memiliki kinerja yang baik, kita dianjurkan untuk memilih yang terbaik dan tepat.
Bila dari beberapa calon semuanya memiliki kinerja yang buruk, kita dianjurkan untuk memilih yang paling sedikit keburukannya.
Sekarang tinggal kita sebagai masyarakat, bakal calon yang ada dapat dengan mudah kita akses profilnya, dari mulai rekam jejak kinerja kepemimpinanya sampai pada informasi pribadi dan keluarha yang mungkin sifatnya privasi.
Mari menjadi pemilih yang mengedepankan objektivitas dengan mempelajari kinerja calon pemimpinnya.
Pilihlah pemimpin yang hasil kerjanya menjadi citra yang melekat pada dirinya, jangan terjebak pada calon pemimpin yang hanya menjual citra baik tapi minim kinerja.(*)