Oleh: Decky Ferdiansyah
Mahasiswa Pascasarjana Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung
Di pengujung 2017 ini tampaknya menjadi geliat baru dalam roda pembangunan di Provinsi Lampung. Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo benar-benar menjadikan Tahun 2017 ini sebagai tahun pembangunan infrastruktur, sebagaimana di tahun pertamanya menjabat.
Hampir di seluruh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Lampung, terdapat pembangunan jalan dan jembatan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Lampung. Pembangunan infrastruktur ini juga sejalan dengan proyek-proyek infrastruktur nasional yang ada di Provinsi Lampung, seperti pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera, pengembangan Bandara Raden Inten II dan lain-lain.
Dalam dokumen Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Lampung Tahun 2017, tema pembangunan Provinsi Lampung Tahun 2017 adalah “Memperkuat Sinergi Pembangunan Infrastruktur, Pelayanan Publik dan Ekonomi untuk Mengurangi Kesenjangan Antarwilayah Menuju Lampung Maju dan Sejahtera”. Maka pembangunan infrastruktur dinilai menjadi kata kunci untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah di Provinsi Lampung. Sudah menjadi pandangan umum bahwa perbaikan infrastruktur, terutama jalan dan jembatan, di Provinsi Lampung masih menjadi pekerjaan utama pemerintah, baik pada level pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Yang menjadi pertanyaan adalah adakah dimensi lain yang perlu diperhatikan Pemerintah Provinsi Lampung dalam pembangunan infrastruktur?
Perkembangan indikator pembangunan
Teori pembangunan sejak munculnya Revolusi Industri di Eropa pada abad ke XVIII lebih dominan membicarakan pembangunan dengan pilar ekonomi sebagai indikator utamanya. Maka para ilmuwan saat itu mendefinisikan pembangunan dengan pendekatan modernitas suatu negara.
Pada awalnya, indikator yang digunakan untuk menilai tingkat kemajuan pembangunan suatu negara adalah pendapatan per kapita. Pemakaian indikator ini melahirkan empat golongan negara, yaitu negara berpendapatan tinggi, menengah atas, menengah bawah dan rendah. Negara berpendapatan tinggi antara lain Amerika Serikat, Australia, Kanada, Jepang dan sebagian besar negara-negara Eropa. Negara-negara ini umumnya bercirikan kemajuan teknologi, tingkat pendidikan, kesehatan dan taraf hidup yang tinggi (World Bank, 1996).
Namun pendekatan pendapatan per kapita masih melihat aspek ekonomi sebagai satu-satunya pilar pembangunan. Pendekatan ini terus dipakai sampai akhirnya dikoreksi pada tahun 1990-an dan lahirlah indikator baru dalam pembangunan, yaitu Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Hal yang mendasari lahirnya IPM adalah tujuan pembangunan pada hakikatnya untuk manusia dalam rangka memenuhi standar hidup yang layak dan berkualitas. Indikator baru ini merumuskan tiga pilar dalam pembangunan yaitu tingkat pendidikan, tingkat kesehatan dan taraf hidup layak. Tiga pilar tersebut digunakan untuk menghitung IPM suatu negara.
Angka IPM akhirnya digunakan untuk membagi negara menjadi empat golongan, yaitu negara dengan IPM sangat tinggi, tinggi, menengah dan rendah. Dari laporan United Nations Development Programme (UNDP), hampir tidak berbeda dengan indikator sebelumnya, negara-negara yang memiliki angka IPM tinggi yaitu Amerika Serikat, Australia, Kanada, Jepang dan sebagian besar negara-negara Eropa (UNDP, 1996).
Pada Tahun 2000-an, muncul kembali pendekatan baru dalam pembangunan yaitu equality (kesetaraan). Angka-angka pendapatan per kapita dan indeks pembangunan manusia dirasa masih belum memenuhi aspek kesetaraan antar individu, keluarga dan golongan masyarakat dalam suatu negara. Titik tekannya adalah pada persoalan kemiskinan dan kesenjangan taraf hidup.
Konsep ini melahirkan indikator baru dalam pembangunan, yaitu Indeks Gini. Indeks ini menghitung rasio ketimpangan konsumsi antara individu dengan masyarakat. Semakin besar nilai Indeks Gini, maka semakin besar ketimpangan yang ada. Begitupun sebaliknya. Maka dengan perhitungan ini, negara dapat melihat dimensi kesetaraan bagi seluruh warganya dalam aktifitas pembangunan.
Dari laporan UNDP pada Tahun 2009, didapati data yang cukup mengagetkan, yaitu negara-negara maju dengan angka pendapatan per kapita dan IPM tinggi justru memiliki Indeks Gini yang cukup besar. Australia yang berada di rangking kedua IPM tertinggi di dunia, ternyata memiliki Indeks Gini 35,2 (dalam skala 1 – 100).
Jepang berada di rangking IPM ke sepuluh, ternyata memiliki Indeks Gini 24,9 dan Amerika Serikat yang berada pada rangking IPM ke tiga belas ternyata memiliki Indeks Gini 40,8 (UNDP, 2009). Sehingga dapat kita fahami bahwa kemajuan pembangunan negara-negara maju tersebut tidak diimbangi dengan dimensi kesetaraan.
Masih tingginya kesenjangan antar warga negara mengakibatkan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Pendekatan equality (kesetaraan) lebih adil dalam menilai ukuran pembangunan suatu negara.
Saat ini, tema utama dalam pembangunan secara global adalah sustainable development (pembangunan berkelanjutan). Tema ini menjadi kerangka kerja bersama seluruh negara di dunia tentang arah pembangunan global yang tertuang dalam dokumen Transforming Our World : The 2030 Agenda for Sustainable Development (UNSDS, 2015).
Tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) memiliki 17 (tujuh belas) tujuan yang fokus kepada peningkatan kualitas hidup manusia. Dokumen ini menggantikan kesepakatan global sebelumnya yang dikenal dengan Millenium Development Goals/MDGs (tujuan pembangunan milenium) yang telah berakhir di Tahun 2015.
SDGs merupakan penyempurnaan dari MDGs yang lebih komprehensif dengan melibatkan lebih banyak negara baik negara maju maupun negara berkembang, memperluas sumber pendanaan, menekankan pada hak asasi manusia, inklusif dengan pelibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media, filantropi, pelaku usaha, akademisi dan pakar.
Hakikat dari sustainable development mencakup tiga pilar, yaitu pilar ekonomi, lingkungan dan kesetaraan/sosial. Beberapa kalangan menyebutnya dengan “Triple E”, yaitu Economy, Ecology dan Equality. Tiga pilar inilah yang mendasari lahirnya konsep pembangunan berkelanjutan dalam teori pembangunan modern.
Pada Maret 1972, sebuah kelompok yang dikenal dengan “Club of Rome” mengeluarkan dokumen berjudul The Limits of Growth (Batas Pertumbuhan). Pada salah satu bagian dalam buku tersebut menyebutkan “we are searching for a model output that represents a world system that is 1. sustainable without sudden and uncontrollable collapse; and 2. capable of satisfying the basic material requirements material of its people” (Meadow, 1972).
Inilah untuk pertama kalinya istilah sustainable diperkenalkan. Sejak itu, teori pembangunan mengalami modifikasi dengan memperhatikan unsur lingkungan yang selama ini terabaikan dan cenderung menjadi ”korban pembangunan”. Selain memperkenalkan istilah baru, dokumen tersebut juga menyebutkan bahwa jumlah manusia akan semakin bertambah sedangkan daya dukung lingkungan akan cenderung menurun dan mengalami titik jenuh, sehingga pada akhirnya tidak akan bisa memenuhi semua kebutuhan hidup manusia. Pada kondisi ini akan terjadi defisit daya dukung lingkungan dan mengakibatkan terjadinya krisis sumber daya alam (Meadow, 1972).
Selanjutnya pada Tahun 1987, Perdana Menteri Norwegia yang bernama Gro Harlem Brundtland merumuskan dokumen Our Common Future. Dokumen ini memuat definisi baru yaitu “sustainable development” yang didefinisikan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang (WCED, 1987).
Dari definisi ini dapat kita pahami bahwa pembangunan merupakan sarana memenuhi kebutuhan hidup manusia agar terhindar dari kemiskinan dan kesenjangan taraf hidup manusia. Pada saat yang sama untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia tersebut diperlukan daya dukung lingkungan (carrying capacity) seperti makanan, mineral, udara dan lain sebagainya. Bila dikaitkan dengan dokumen The Limits of Growth, daya dukung ini lama kelamaan akan terbatas dan tidak akan bisa dinikmati oleh generasi yang akan datang.
Di titik inilah kita memahami bahwa pembangunan yang dilakukan pada saat ini harus juga dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang, tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan.
Bila ditinjau dari aspek sustainability (keberlanjutan) maka pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan yang dilakukan Pemerintah Provinsi Lampung setidaknya harus memperhatikan tiga pilar, yaitu ekonomi (economy), lingkungan (ecology) dan kesetaraan (equality). Bila ditinjau dari pilar yang pertama, pembangunan infrastruktur tersebut bertujuan untuk memenuhi konektifitas antarwilayah sehingga aktifitas perekonomian dapat berjalan.
Aktivitas perekonomian yang bercirikan transaksi jual-beli sangat membutuhkan konektifitas agar terjadi pertukaran barang dan jasa dari satu wilayah ke wilayah lain. Dengan adanya aktifitas perekonomian di masyarakat, maka pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan. Sehingga dapat dinilai bahwa pilar ekonomi telah terpenuhi dalam pembanguan infrastruktur, khususnya jalan dan jembatan.
Ditinjau dari pilar sosial, pembangunan infrastuktur akan memudahkan aktifitas sosial kemasyarakatan. Fitur utama manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan gerakan dan perpindahan tempat. Aktifitas pergi dari rumah ke kantor, kebun, sekolah, tempat ibadah, silaturahmi bahkan rekreasi memerlukan jalan dan jembatan sebagai penghubung.
Tanpa adanya sarana penghubung antarwilayah, kehidupan sosial kemasyarakatan akan sulit dijalankan. Adanya perbaikan dan peningkatan jalan dan jembatan akan secara langsung mendorong dan memotivasi masyarakat untuk saling berinteraksi satu sama lain. Sehingga lambat laut kehidupan masyarakat akan berjalan lebih dinamis.
Pilar kedua berupa pilar sosial ini dapat tercapai dalam pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan.
Yang juga harus menjadi perhatian dalam pembangunan infrastruktur adalah pilar lingkungan (ecology). Pilar inilah yang sesungguhnya menjadi titik tekan pada aspek sustainability. Pemerintah Provinsi Lampung dituntut untuk dapat memadukan kepentingan pembangunan dengan pilar lingkungan.
Jangan sampai terjadi perubahan atau terganggunya bentang alam yang justru mengganggu tatanan ekosistem yang sudah ada. Saat ini sudah berkembang aspek Green Construction pada pembangunan proyek infrastruktur pemerintah. Kalangan akademisi dan pakar dari asosiasi profesi dapat dilibatkan pada proses ini. Perhatian pada pilar ecology mutlak dilakukan setidaknya karena dua alasan, yang pertama bahwa manusia pada hakikatnya adalah bagian dari alam/lingkungan.
Sebagai bagian dari alam, maka eksploitasi berlebihan terhadap alam walaupun dengan alasan pembangunan tanpa diimbangi dengan peningkatan kemampuan alam untuk membaharui daya dukungnya (renewable carrying capacity) akan menyebabkan ketidakadilan (unequality). Alasan kedua adalah bahwa generasi mendatang juga memiliki hak yang sama dengan generasi sekarang untuk mendapatkan daya dukung lingkungan.
Dengan tidak memperhatikan keberlangsungan antargenerasi ini, maka sulit untuk mengatakan suatu pembangunan infrastruktur telah memiliki aspek sustainability.
Terakhir, setiap aktifitas pembangunan di Provinsi Lampung, baik yang dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota sebaiknya dapat memenuhi aspek sustainability terutama yang berkaitan dengan kelestarian sumber daya alam. Sehingga kita yang di hidup di generasi sekarang tidak memiliki hutang sumber daya alam kepada generasi yang akan datang. Semoga.