Senin, Desember 16, 2024

Top Hari Ini

Terkini

Anak Tunarungu Wajib Diterapi, Tak Cukup Dibantu Alat

Sinta Nursima. | Andi Apriyadi/Jejamo.com

Jejamo.com, Bandar Lampung – Anak tunarungu perlu diterapi. Mereka tak cukup hanya digantu dengan alat bantu dengar. Peran orangtua dibutuhkan untuk memaksimalkan peran terapis. Hal tersebut disampaikan praktisi terapi verbal di rumah, Sinta Nursima, saat mengisi workshop yang diadakan Komunitas Lampung Mendengar di Hotel Emersia, Sabtu, 18/11/2017.

“Untuk anak tunarungu itu terapinya banyak. Ada yang lewat melihat dari bibir, ada yang pakai bahasa isyarat. Intinya komunikasi total yang dipakai. Jadi dalam workshop ini yang ingin saya sampaikan terapi verbal yaitu memaksimalkan kemampuan dengar anak,” ujarnya kepada jejamo.com.

Menurut Sinta, meskipun anak sudah menggunakan alat bantu dengar, hal tersebut tidak akan maksimal. Jadi diperlukan terapi.

“Kalau tidak diterapi, anak itu tidak paham. Kenapa begitu? Karena mendengar itu suatu proses belajar. Jadi, bunyi itu sekadar lewat di telinga kemudian ke saraf lalu ke otak. Nantinya otak ini yang memproses,” paparnya.

Ia menuturkan, selain dengan alat dengar, anak juga harus diterapi. Pertama kali anak dipakaikan alat bantu dengar. Setelah itu diajari huruf dan mendengar bunyi agar benar-benar mengerti seluruh suara bunyi hingga ke tahap selanjutnya.

“Kemudian dilanjutkan sampai akhirnya membentuk kata dan kalimat. Jadi, prosesnya  seperti mengajarkan bayi normal baru lahir, di mana orangtua tidak menyuruh bayi ngomong. Tapi jika ngomong lama-lama, bagus di otaknya,” jelasnya.

Karena alat bantu dengar tidak sama dengan telinga asli, para orangtua diajarkan teknik khusus agar pendengarannya jelas.

“Teknik itu yang paling vital bahwa anak ini justru tidak boleh lihat bibir kita. Jadi kita harus bicara dari samping dan belakang sehingga mau tidak mau anak bisa menerima itu sebagai simulasi di otak. Lama-lama ada tahapannya dia bisa,” kata dia.

Dia menambahkan, intinya anak tinggal di rumah bersama orangtuanya. Kalaupun dia ikut terapi, itu pun seminggu sekali. Jadi mau tidak mau orangtua harus pintar. Karena setiap karakter anak itu berbeda karena kondisi otaknya sudah berubah. Kita harus memberdayakan orangtua,” ujarnya.(*)

Laporan Andi Apriyadi, Wartawan Jejamo.com

Populer Minggu Ini