Minggu, November 10, 2024

Top Hari Ini

Terkini

Opini: Calon Kepala Daerah Tersangka, Masih Bisa Maju?

Ahmad Irzal Fardiansyah | ist

Oleh Ahmad Irzal Fardiansyah

Kandidat Doktor Ilmu Hukum Unpad, Dosen FH Unila

Pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah akan kembali di helat. Salah satunya di Propinsi Lampung. Sebagai propinsi yang sedang berkembang pesat, tentu pemilihan kepala daerah di Propinsi  Lampung sangat menentukan.

Apalagi secara geografis yang letaknya tidak terlalu jauh dengan Ibukota Negara, tentu akan menjadi penyangga yang strategis. Oleh karena itu diperlukan kepemimpinan yang bisa bekerjasama dengan baik dengan pemerintah pusat.

Belum lagi perhelatan dimulai, salah satu calon diberitakan dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus suap yang dilakukan oleh sejumlah oknum anggota DPRD dan juga oknum eksekutif. Peristiwa ini menimbulkan tanda tanya di masyarakat terkait dengan status pencalonan yang bersangkutan.

Di dalam Peraturan KPU Pasal 42 huruf e menyebutkan bahwa pasangan calon harus membuat surat pernyataan pemenuhan persyaratan calon untuk Pasal 4 ayat (1) huruf f dilengkapi dengan surat keterangan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dari pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal calon; dan surat keterangan dipidana karena kealpaan ringan (culpa levis) atau alasan politik berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan bagi calon yang pernah dipidana penjara karena kealpaan ringan (culpa levis) atau alasan politik. Dari ketentuan tersebut di atas menunjukan bahwa calon kepala daerah yang tidak boleh mencalonkan diri adalah bila yang bersangkutan sudah menjadi terpidana dengan kekuatan hukum yang tetap.

Bagaimana bila sebagai tersangka? Bila mengacu pada peraturan tersebut, maka pencalonan yang bersangkutan tetap sah dan mempunyai hak yang sama dengan calon lainnya, namun bila ditahan, hanya disini perbedaannya karena tidak langsung bisa bertemu dengan masyarakat untuk berkampanye.

Bila dilihat secara etika moral,  hal tersebut dapat diperdebatkan. Sebagian melihat bahwa secara etika, idealnya bila seorang calon kepala daerah menjadi tersangka sudah harus berhenti untuk mencalonkan diri (mundur). Tetapi pada prinsipnya, etika moral itu adalah yang melandasi lahirnya peraturan, maka etika moral yang dimaksud sudah tentu melatarbelakangi peraturan yang ada. Lantas mengapa seorang yang menjadi tersangka tetap bisa melanjutkan pencalonan diri sebagai kepala daerah?

Nilainya adalah, seseorang yang menjadi tersangka belum tentu bersalah. Masih diduga/terindikasi terlibat dalam sebuah tindak pidana. Proses untuk memutuskan seseorang terlibat dalam sebuah tindak pidana tentu masin panjang. Ia masih diberi kesempatan untuk membela diri, untuk menjelaskan bahwa dirinya tidak bersalah. Itulah proses hukum, yang juga harus dihormati sebagai penghargaan terhadap hak asasi manusia.

Sehingga wajar bila seseorang baru menjadi tersangka, hak-haknya tetap harus dijaga, termasuk untuk dipilih dalam pencalonan kepala daerah. Bukan berarti pula seseorang yang menjadi tersangka namun tetap mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah yang tidak beretika. Lain hal bila calon yang bersangkutan memilih mundur dari pencalonan, tentu itu haknya yang juga harus dihormati.

Jadi, seorang calon kepala daerah yang menjadi tersangka berdasarkan UU tetap bisa mencalonkan diri, bahkan tetap bisa menang dalam pemilihan bika rakyat memilihnya. Perihal ada putusan berkekuatan hukum tetap muncul setelah yang bersangkutan menang dalam pemilihan misalnya, seperti yang pernah terjadi di beberapa pemilihan kepala daerah sebelumnya, maka sebagai indikator taat terhadap ketentuan, yang bersangkutan tetap dilantik terlebih dahulu, kemudian karena menjadi terpidana, maka yang bersangkutan diberhentikan. (*)

 

Populer Minggu Ini