Berita Bandar Lampung, Jejamo.com – Pembaca yang budiman, sastrawan Lampung, Isbedy Stiawan ZS selama beberapa hari berada di Belanda bersama dua penyair lainnya: Juperta Panji Utama dan Arman AZ. Jejamo.com menurunkan tulisan esai Paus Sastra Lampung ini secara berseri. Selamat menikmati.
Sekujur pergelangan tanganku dingin dan serasa semutan pagi ini, sulit menggerakkan jemari. Kamis, 12/11/2015 pagi ini–di Rotterdam masih pukul 07.14–suhu berada di angka 9° Celcius, istriku. Aku ingin pelukan hangatmu.
Bagun tidur usai salat subuh, kulanjutkan mengopi dan menikmati rokok. Aku meneleponmu melalui layanan Messenger agar gratis, tapi tiada sahutan. Saat ini aku membutuhkan komunikasi suara dari keluarga dan rekan di Tanah Air.
Aku membaca info atau kabar melalui media sosial bernama Facebook. Ternyata diskusi yang cenderung perdebatan masih berlangsung di dinding FB-ku. Ah, ilmu pengetahuan memang tak mutlak kebenarannya. Di bawah langit adakah kemutlakan? Pikirku. Tetapi di bawah matahari, meminjam Kapolda Lampung Edward Syah Pernong, tak ada yang gelap.
Kita kerap mendebatkan hal-hal tak begitu prinsip. Mendebatkan, seperti di masa Yahudi, apakah sapi hitam, muda, lelaki-perempuan seperti dikisahkan dalam surah Al Baqarah, diikuti terus hingga manusia kini.
Misalnya, pengadilan pelanggaran HAM 1965 yang sedang berlangsung di Den Hag. Atau ihwal gamolan pekhing, cetik, gamolan (tok) juga begitu. Tak akan tuntas-tuntas dan hanya berujung pada pembenaran jika perdebatan hanya menyoalkan itu.
Tetapi, sudahlah aku tak menukik ke masalah itu di sini. Istriku, diskusi penting namun tak mesti meruncing ke perdebatan adu vokal. Di suhu hanya 9° C ini, tak mesti untuk menghangatkan tibuh dengan alkohol dan emosi.
Aku masih di Rotterdam. Siang nanti jadwalnya ke Leiden, untuk acara baca puisi dan diskusi bersama mahasiswa Universitas Leiden pada Jumat malam, 13/11/2015. Siang nanti di kampus yang sama dilangsungkan diskusi dengan Ayu Utami, novelis dari Indonesia.
Tugas lain di Leiden, utamanya Arman Az akan menelusuri dan mengumpulkan ihwal masa lalu Lampung. Doakan kawan-kawan, tugas sahabatku Arman berhasil.
Di sini, maksudnya saat di luar negeri, selalu saja aku dirundung rindu pada Indonesia. Nasionalisme, kata banyak orang, terasa subur jika tak di Tanah Air. Tapi sebaliknya, saat di Indonesia, emosi dan lain sebagainya begitu cepat termantik. Mungkin terlalu sering kita menyaksikan dan mendengar karut marut dari segala lini dari amat dekat.
Politik pilkada walaupun tak begitu memanas, tetap terbuka buat membakar emosi kita. Bahkan soal kebudayaan, ihwal gamolan pekhing ataukah gamolan (saja) maupun sebutan cetik, diperdebatkan dengan darah yang mendidih. Tapi, istriku, yakinlah perdebatan seni budaya tak berujung saling acung tinju: ini perdebatan cerdas dari pelaku yang berpikir konstruktif.
Aku meminjam pendapat Nirwan Dewanto, setiap orang adalah pendesain kebudayaan. Bukankah kebudayaan diciptakan oleh manusia kemudian mendapat kesepakatan bersama?
Satu contoh kecil yang kerap kulihat di Holand ini. Ciuman–maaf hingga saling mengenai bibir–di tempat umun baik kali pertama jumpa entah mereka hanya berkawan, kekasih, ataupun suami istri–sering dilakukan. Apalagi suami istri tentunya. Kalau itu disebut budaya–dari kebiasaan yang kemudian disepakati bersama–bukan aneh bagi mereka, tak perlu mengundang ingin menontonnya. Coba bayangkan jika itu terjadi di tempat kita, alamat akan ditimpuki dan dikutuk. Budaya–kebiasaan yang disepakati bersama–tak bisa tidak harus bersesuaian dengan tempatan.
*
Ada banyak, terutama Arman, yang didapat dari “muhibah” ke Belanda ini tentang ke-Lampung-an demi melengkapi apa yang diketahui sebelumnya.
Ia tinggal lagi memilah mana yang bisa menjadi kekayaan Lampung yang tersimpan di negeri mantan penjajah ini. Ia juga kerap berdiskusi bahkan berdebat dengan Panji Utama yang menjadi pertanyaan bersama soal apakah benar Belanda pernah menjajah Indonesia, apakah ada kebenaran ataupun korelasi VOC menguasai tanah air, bagaimana bisa atau dengan jalan apa Hatta bisa sampai ke Belanda pada 1928 karena saat itu yang bernama Indonesia masih in absentia?
Nah, kalau ini mau ditarik ke persoalaan kebudayaan (di) Lampung, juga mesti diawali dengan pertanyaan-pertanyaan (juga boleh dengan kecurigaan), semiaal mana lebih tua antara pesisisr dengan pepadun: apakah maayarakat (etnis) Lampung mulanya satu dari Sekala Brak? Dan seterusnya.
Tetapi, jangan lantas perdebatan menyulut pertikaian. Jangan sampai diskusi berujung saking memaki maupun membenci.
Lampung, menurutku memikiki kebudayaan amat besar. Etnis ini memiliki aksara. Lampung juga dalam kebahasaan pernah dikirik karena menarik tentu saja oleh H.N Van der Tuuk si meneer Belanda hingga mendorongnya menulis kamus Bahasa Lampung, setara dengan Batak dan Bali. Artinya Lampung sudah dikenal berabad-abad lalu.
Lampung juga sudah dikenal jauh sebelum kita yang hidup muasir membincangkan. Adalah Muhammad Saleh mengabadikan Lampung melalui syair panjangnya: Syair Lampung Karam.
Syair itu ditulis pengarangnya di Singapura dari amatannya terhadap musibah dunia meletusnya Gunung Krakatau pada 1883. Syair Lampung karam ditemukan 100 tahun kemudian di susunan rak buku Perpustakaan Universitas Leiden oleh dosen setempat Suryadi Sunuri.
Lalu, apakah kita merasa memiliki Syair Lampung Karam itu?
*
Istriku, berbanggalah menjadi orang Lampung karena masih ada dalam peta dunia. Di Belanda ini, khususnya di Amstedam, ada nama jalan Lampung bernama Lampongstraat. Apa yang telah didapat Arman dari penelusuran ke Mbah Google, benar adanya. Kami sempat berfoto di Lampongstraat dengan bahagia sekali.
Aku berencana foto di Jalan Lampung, Amsterdam ini, dijadikan sampul buku puisiku yang terbit entah bila. Semoga tidak berhenti sebagai rencana atau mimpi.
Seperti juga kami bisa ke Belanda, bermula dari mimpi. Tapi mimpi akan tetap sebagai mimpi apabila kita tak segera bangun dan mewujudkan menjadi kenyataan dan peristiwa.
Itulah dari secuil kami lakukan di Belanda. Membawa gamolan pekhing ke negara Holand ini. Kami persembahkan sebagai sosialisasi ke mahasiswa Universitas Erasmus Rotterdam dan Universitas/Museum di Leiden. Bukan kami hendak disebut apa pun. Ini hanya tanggung jawab sebagai orang Lampung.
Peristiwa hari ini adalah sejarah kemudian hari. Barangkali itu soalnya yang akan dilakukan tim API (Arman, Panji, Isbedy) di Belanda untuk “memulang” sejarah masa lalu Lampung dalam peristiwan Lampung muasir. Dan kami tengah menggores untuk “dibaca” oleh yang hadir berikut.
Seperti kami kunjungi Pers Museum, ingin melihat 100 tahun pers Belanda yang mau tak mau bersentuhan dengan Indonesia. Ternyata ada benarnya: Muhammad Hatta ikut dalam sejarah jurnalis Holand. Dan, menurut petugas di museum itu ketika tahu kami dari Lampung, ia menyebut kami pengunjung pertama. Wallahualam.
Istriku, aku sudah siap-siap ke Leiden. Siang ini berencana jumpa dengan beberapa civitas Universitas Leiden.
Selamat tinggal Rotterdam, simpan kenangan baik kami dan buanglah yang dianggap mengotori.
Juga terima kasih yang sangat berbaik hati kepadaku Asjone Martin Sikumbang, Mekhdi Ibrahim Johan, dan Yos. Semoga di hari lain bisa jumpa lagi.
Aku sudah di kereta menuju Leiden, 30 menit dalam perjalanan yang aduhai tenang…(*)
Jejamo.com, Portal Berita Lampung Terbaru Terpercaya