Minggu, November 10, 2024

Top Hari Ini

Terkini

Catatan Sastrawan Lampung Isbedy Stiawan ZS dari Belanda (11-Habis)

Penyair Lampung Juperta Panji Utama berbicara di Universitas Leiden, Jumat, 13/11/2015. | Isbedy Stiawan ZS
Penyair Lampung Juperta Panji Utama berbicara di Universitas Leiden, Jumat, 13/11/2015. | Isbedy Stiawan ZS

Berita Bandar Lampung, Jejamo.com –  Pembaca yang budiman, sastrawan Lampung, Isbedy Stiawan ZS selama beberapa hari berada di Belanda bersama dua penyair lainnya: Juperta Panji Utama dan Arman AZ. Jejamo.com menurunkan tulisan esai Paus Sastra Lampung ini secara berseri. Selamat menikmati.

Universitas Leiden, Jumat (13/11) pukul.17.32. Para mahasiswa dari beragam negara dan agama tampak sibuk. Dua jam lagi acara baca puisi dan diskusi di ruang 2 berlangsung.

Suryadi Sunuri, dosen Universitas Leiden, memimpin acara yang dimulai pukul 18.12.

Acara dibuka Ketua Perhimpunan Indonesia (PPI) Leiden Ghamal Satya Mohammad. Tiga sastrawan Lampung, Juperta Panji Utama, aku, danArman Az menyerahkan kenang-kenangan berupa gamolan pekhing, vcd prosesi adat Kesultanan Paksi Pak Sekala Brak dari Sultan Sekala Brak Dipertuan ke 23 Pun Edward Syah Pernong yang diterima Ketua PPI Leiden didampingi Ketua Panitia Nazar Udin usai acara.

Selain itu diserahkan pula buku karya Soeyanto Soe kepada PPI Leiden dan Perpustakaan Universitas Leiden.

Pembacaan puisi aku mulai dengan membentang pembicaraan Lampung dalam Jalur Sastra Indonesia dan Global, dilanjutkan oleh Juperta Panji yang menuoroti perkembangan sastra di Lampung setelah generasiku, yakni Iswadi Pratama Anyar, Ahmad Yulden Erwin, dan Panji.

Dalam jalur sastra Indonesia, telah terjadi dua kutub yakni Salihara (dahulu KUK/TUK) dan Horison.

Tak bisa dinafikan peran Goenawan Mohammad (GM).dan Taufiq Ismail (TI) dalam jalur (peta) sastra Indonesia sangat besar “sebagai penentu” sehingga keduanya seakan “penentu” seseorang disebut sastrawan atau tidak.

Dalam diskusi di ruang 2 Universitas Leiden itu juga mencuat dugaan-dugaan bahwa GM dan TI yang memainkan para sastrawan Indonesia dapat mengikuti Frankfurt Book Fair 2015 senilai Rp146 miliar.

“Sekiranya dana sebesar itu dimanfaatkan penetbitan buku ensiklopedia sastra(wan) Indonesia atau menerbitkan buku sastra, bisa lebih nermanfaat,” ujar Suryadi Sunuri.

Diskusi sastra kali ini, menurut sejumlah civitas akademika Leiden, lebih hidup dan benderrang.

“Karena tak ada yang ditutup-tutupi. Kami yang tadinya kurang faham ihwal peta sastra Indonesia, jadi bisa tahu dan memunya gambaran benderang,” kata Arum.

Hampir sama dinyatakan Melta. Ia berharap sastrawan daerah yang tidak masuk dan tercatat oleh dua kutub tersebut, mesti melakukan “perlawanan” sehingga masyarakat pembaca sastra tidak hanya tahu sastrawam itu-itu saja.

Indonesia terdiri dari sekitar 1700 pulau, berarti seharusnya tema dalam sastra pun tidak tunggal sebagaimana diusung pada Frankfurt Book Fair yaitu 1965.

“Seakan tema 1965 mendominasi sastra Indonesia,” aku mendaskan.

Sementara Arman menyenut betapa banyak sastrawan Indonesia yang sudah dikenal dan karyanya telaj diterjemahkan di luar negeri tidak dibawa ke FBF 2015.

Ketua panitia Nazar Udin berharap kegiatan seperti ini terus dilsnjutkan, dengan demikian sastrawan Indonesia yang tidak masuk jalur Salihara dan Horison dapat dikenal secara global.

Tampaknya peran civitas akademika semacam Universitas Leiden yang lebih netral dapat berperan. Hal itu diakui dosen setempat, Suryadi Sunuri.

*

Sebelum acara baca puisi dan diskusi digelar, seharian Arman AZ mendatangi Perpustakaan Universitas Leiden. Sejumlah manuskrip mengenai Lampunh masa silam sudah didatanya. “Di sini ada juga manuskrip Dayang Rindu dari Sumatera Selatan,” ujar dia.

Dalam status FBnya, Arman menulis, dikit bae diuploas langsung dari Leiden. Ia menshare foto-foto kekayaan yang ada di Lampung masa silam tersimpan di perpustakaan Belanda.

Arman meyakini masih banyak lagi peninggalan masa lalu Lampung tersebar di sejumlah kota di negeri Kincir Angin.

“Tetapi untuk melakukan pelacakan dibutuhkan waktu agak lama dan itu menyangkut juga keuangan,” jelas dia.

*

Belanda memang menyenangkan. Ada banyak peristiwa yang kami dapati dan lihat bisa diterapkan di tanah air, karena baik.

Misalnya, di beberapa titik dibuat layaknya rumah-rumahan monyet. Di dalamnya ada sejumlah buku yang bisa dibaca atau bahkan dibawa pulang.

Setiap orang yang mengambil dan membaca buku di sana, mengantar atau menyerahkan judul buku lain. Perpustakaan taman ini banyak aku lihat, terutama di Leiden.

Perpakiran di Belanda tak membutuhkan petugas parkir yang jika di Indonesia amat pemalas dan meminta uang parkir saat pemilik kendaraan hendak pergi.

Di Holand ini jasa perpakiran menggunakan mesin semacam ATM. Di sini bukan saja kejujuran, namun kesadaran membayar pajak parkir sangat dituntut masing-masing warganya.

Bayangkan, di sini tak ada petugas parkir. Artinya setiap pemilik kendaraan bisa saja tak menbayar karena tak dipantau. Sekiranya di tanah air, apa jadinya?

*

Istriku, Leiden tak hanya bersuhu 9° celcius namun anginnya sangat kencang. Terutama semalam. Banyak pengendara sepeda hanya menyeret “motor gowesnya” karena bisa terjungkal diterpa angin berkecapan tinggi dan sangat dingin.

Bahkan, dapat info daro Delf, angin kencang membuat atap rumah bagai dihujani batu es. Sangat berisik. Warga Delft seharian pada Jumat (13/11), tak berani keluar rumah.

Eropa saat ini memanas justru di musim dingin. Prancis terjadi petaka. Aksi bom melanda beberapa titik. Lebih dari 40-an warga dinyatakan tewas dalam insiden. Berita ini begitu cepat menyebar semalam. Para mahasiawa Leiden membincangkan peristiwa ini.

Entah apakah kami bisa ke Paris pada 19 November mendatang dalam situasi huruhara tersebut dan negara itu tentu akan mewaspadai setiap pendatang?

Tiket ke Paris sudah dibeli, lalu apakah kami urung ke sana? Ah, puisi…*

Jejamo.com, Portal Berita Lampung Terbaru Terpercaya 

 

Populer Minggu Ini