Berita Bandar Lampung, Jejamo.com – Waktu menunjukkan pukul 04.00. Ia sudah berdiri di depan Pasar SMEP Bandar Lampung. Menguncir rambut lalu, dimasukkan ke dalam topi yang dipegang lalu dipakainya. Ia membungkus tubuh dengan jaket putih usang. Jins belel selalu ia gunakan setiap hari.
Di tangan kanan terlilit tali yang diikatkan pada peluit kecil berwarna kuning yang siap ditiup bila ada yang ingin memarkirkan kendaraan. Dia Rosmiyati. Seorang tukang parkir wanita yang menghidupi hari demi hari untuk sesuap nasi anak-anaknya.
Hidupnya ia dedikasikan buat anak kembarnya, Riski dan Riska. Peran Rosmiyati bertambah menjadi tulang punggung sekitar setahun yang lalu. Rosyidi, belahan jiwanya, telah berpulang ke hadapan Sang Ilahi. Kanker tiroid merenggut kebahagiaan ia dan suaminya.
Bekerja dan bekerja. Hanya itu yang ada di pikirannya. Dalam bekerja, Rosmiyati menitipkan anak kembarnya itu pada Endang, mertuanya. Sudah tua memang, namun Endang merasa senang apabila si kembar dititipkan padanya. Baginya, cucu adalah segalanya. Ia selalu memberikan yang terbaik buat cucu kembarnya itu.
Tak pernah ada kata malu dalam menjalankan pekerjaannya. Bagi Rosmiyati, ini merupakan profesi yang mulia. “Daripada saya mencopet dan menjual diri, lebih baik dan enggak malu jadi tukang parkir. Saya malunya hanya kepada Allah,” ungkapnya kepada jejamo.com beberapa hari lalu.
Rosmiyati adalah sosok wanita yang tegar. Menjadi tukang parkir bukanlah perkara mudah. Apalagi bagi seorang wanita. Selain harus membantu memarkirkan, terkadang ia harus mengangkat motor yang cukup berat. “Apalagi kalau ada barang yang hilang, pasti saya yang ketempuhan,” kata dia.
Hari demi hari ia lalui. Penghasilan tukang parkir yang tidak menentu membuat Rosmiyati memutar otak agar mendapat penghasilan lebih. Sekitar pukul 11.00, ia beranjak ke pasar yang tak jauh dari tempat pekerjaannya itu. Ia membeli bahan-bahan untuk membuat gorengan yang akan ia jajakan di depan rumahnya sore hari. Menjual aneka gorengan, itulah penghasilannya yang lain.
Setelah membeli bahan-bahan, ia pulang dengan motor matic peninggalan suaminya lalu menjemput si kembar. Pukul 15.00, setelah menemani tidur anak-anaknya, ia ke dapur, membuat gorengan. Daster lengan pendek dengan panjang sebatas lutut ia kenakan. Sangat jauh berbeda dengan penampilan sebagai tukang parkir tadi.
Ia membuat gorengan sambil bersenandung kecil. Baginya, hidup ini adalah skenario Tuhan dan kita sebagai peran utamanya. Ia mampu bertahan karena si kembar penyemangatnya, napas hidupnya. “Saya pernah bahagia lalu terpuruk, namun saya bangkit. Riski dan Riska adalah alasan kebahagiaan dan keikhlasan saya,” pungkasnya.(*)
Laporan Dita Pratiwi, kontributor jejamo.com, Portal Berita Lampung Terbaru Terpercaya