Rabu, November 6, 2024

Top Hari Ini

Terkini

Hasanuddin, Bangun Sekolah untuk Anak Kampung di Lampung Selatan

Hasanuddin, guru madrasah di Lampung Selatan, yang rela jadikan rumah sebagai lokal belajar. | Heru/Jejamo.com
Hasanuddin, guru madrasah di Lampung Selatan, yang rela jadikan rumah sebagai lokal belajar. | Heru/Jejamo.com

Berita Lampung Selatan, Jejamo.com – Seorang pria tua berperawakan sedikit gemuk bercelana kain cokelat lengkap dengan sepatu pantofel, berjalan. Ia sesekali membenarkan letak kopiah hitamnya. Tak lupa, baju batik cerah ia kenakan. Pria itu berjalan menuju sekolah tempatnya bekerja.

Lelaki kelahiran Tanjungkarang, 13 April 1953, ini adalah salah seorang pendiri Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Nurul Falah di Desa Baruranji, Merbau Mataram, Lampung Selatan. Lelaki yang memiliki tiga anak ini bernama Hasanuddin.

Sedikit humoris, namun tetap disiplin dalam mengajar. Begitulah ia dikenal oleh murid. Saat ini, Hasan, begitu panggilannya, adalah guru honorer yang mengajar pelajaran Alquran dan Hadis. Sebagai senior, ia sangat dihormati guru-guru lain.

“Pendiri pertama madrasah adalah Ustaz Hasan Basri sekitar tahun 1970-an tapi masih dalam bentuk diniyyah,” ujarnya kepada jejamo.com akhir pekan lalu di sekolah tempatnya mengajar.

Didirikannya tempat belajar itu atas usulan Ustaz Hasan Basri dan juga kesepakatan masyarakat dengan Suhamim sebagai kepala dusun waktu itu. “Diniyyah itu seperti sekolah, tapi belajarnya hanya masalah agama, lebih tepatnya seperti pengajian kampung,” kata Hasan.

Hasan pertama kali mengajar pada 1977 di MI Nurul Falah Kampung Masjid, Desa Baruranji. Dengan bangunan sekolah yang hanya tiga lokal kira-kira 7 x 6 m luas ukurannya dan belum menjadi sekolah yang diakui pemerintah.

Sekitar 50 murid ia didik di tempat itu, dibantu beberapa guru. “Yang mengajar ada beberapa orang, namun yang tetap cuma saya dan Muslih Arif,” katanya.

Gaji yang diterima saat itu ialah hasil dari iuran wali murid sekitar Rp15 ribu untuk satu orang guru sebulan.

Perjalanan Hasan sebagai kepala sekolah masih berlanjut. “Sekitar tahun 1999, MI Nurul Falah harus dipindah dari Kampung Masjid ke Dusun Pilar karena lokasi sebelumnya kurang memadai,” kata dia.

Adanya kesepakatan dan bantuan dari Departemen Agama Lampung Selatan, akhirnya MI Nurul Falah dipindah ke Dusun Pilar yang lokasinya memadai. Namun, tetap berada di satu desa yang sama. Tahun yang sama, Hasan berhasil menjadikan sekolah itu diresmikan dan diakui pemerintah.

Ruangan sekolah tak jauh berbeda. Tetap memiliki tiga lokal seperti sebelumnya. Namun, dengan ukuran sedikit lebih besar. Meja, kursi, dan buku-buku seadanya hasil dari sumbangan masyarakat dan bantuan dari Departemen Agama Lampung Selatan.

Selain itu, tak jarang ada donatur yang ikut menyumbang. Pengajar saat itu bertambah menjadi sembilan guru dengan murid mencapai 300 siswa. Terbatasnya lokal mengharuskan Hasan menggunakan dua ruangan yang biasa digunakan untuk belajar mengaji rutin setiap malam di rumahnya sebagai lokal sekolah tambahan.

“Waktu itu, madrasah ini cuma punya tiga lokal untuk belajar. Pasti enggak muat untuk 300 orang. Karena rumah saya tidak jauh dari sekolahan, saya pakai ruangan di rumah saya yang biasa buat tempat belajar ngaji. Malamnya tempat belajar ngaji, siangnya lokal sekolah,” kata dia ditingkahi tertawa kecil.

Tahun demi tahun ia lewati sebagai seorang kepala sekolah. Perubahan terus terjadi. Dua ruangan di rumahnya suadah tidak digunakan sebagai lokal tambahan sekolah karena lokal MI Nurul Falah sudah bertambah menjadi enam dengan ukuran yang sama persis dengan sebelumnya.

Tahun 2003, MTs Guppi yang berlokasikan di Kampung Cidadap, tak jauh dari Dusun Pilar itu sudah tak menerima murid lagi. Sekolah dengan dua kelas tersebut dipindahlokasikan ke Dusun Pilar digabung dengan MI Nurul Falah. Setelah digabung dan belajarnya dengan cara berbagi waktu dan lokal, nama sekolah itu resmi diubah menjadi MTs Nurul Falah. Hasan sebagai kepala sekolahnya.

Memegang kendali dua sekolah sekaligus tak mudah untuk dilakukannya. Belum sampai satu tahun, Hasan menyerahkan jabatannya sebagai kepala MTs Nurul Falah kepada Syafrudin, salah seorang pengajar di sekolah ini. Dan tahun 2005, tepatnya pada usia 52 tahun, Hasan juga melepaskan jabatannya sebagai kepala MI Nurul Falah. Namun ia tetap mengajar.

“Usia sudah lanjut, sudah makin tua, sudah waktunya nyerahin amanah untuk yang muda. Tapi mengajar harus tetap dilakukan,” katanya tersenyum.

Sampai sekarang Hasan masih mengajar. Baginya, pendidikan adalah sesuatu yang sangat penting bagi semua orang. Tak terkecuali untuk orang kampung. Walau hanya dengan fasilitas serbakurang dalam belajar, seperti buku pelajaran, ia tetap bersemangat. Yang ia tahu, mengamalkan ilmu adalah perbuatan yang mulia dan karena pendidikan ikut menentukan masa depan.(*)

Laporan Heru, kontributor jejamo.com, Portal Berita Lampung Terbaru Terpercaya

Populer Minggu Ini