Jejamo.com, Bandar Lampung – Bandar Lampung menjadi kota metropolitan yang mampu bersaing dengan kota-kota lain. Ini adalah harapan dari Wali Kota Bandar Lampung Herman HN.
Bandar Lampung mendapat peringkat ke-3 terkotor di Indonesia. Herman HN berpendapat bahwa penilaiannya tidak sesuai. Dirinya telah berjuang mati-matian dalam peningkatan kebersihan di Bandar Lampung. Dia beranggapan bahwa penilaian tidak objektif.
“Tahun 2009 dapat Adipura padahal kotor minta ampun. Saya berani bersaing dengan kebersihan yang dapat Adipura. Saya berani cek membandingkan,” ungkapnya dalam sambutan peresmian underpass Jalan Zainal Abidin Pagaraam, Rajabasa, Bandar Lampung, Kamis 17/1/2019.
Herman HN mengatakan, banyak pihak yang mencari-cari kejelekan dirinya.
“Saya udah mati-matian, mobil kebersihan ada 90, 2018 sebelum diumumkan saya beli mobil lagi buat penunjang kebersihan,” tegasnya.
Pemerintah juga melayani 60.000 saluran air bersih di Bandar Lampung. Dirinya menginginkan rakyat menikmati kebersihan menikmati keindahan Bandar Lampung tercinta.
“Namun apa daya pemerintah pusat berkuasa. Kita doakan yang menilai mendapat berkah menjadi orang yang sehat,” kata dia.
“Saya tidak mau pura-pura, misalnya lebih baik saya kasih uang Rp500 juta saya kasih ke masyarakat daripada membeli penghargaan. Yang penting rakyat menikmati kebersihan Kota Bandar Lampung,” tegasnya.
“Apa yang dinilai tadi jangan dipikirkan. Yang penting kita harus bersih lagi, jangan buang sampah sembarang di kali, di jalan, digantung. Nanti aparat akan membersihkannya. Untuk semuanya mari sumbang pemikiran, dan kontribusi untuk kemajuan,” ungkapnya.
Atas nama pemerintah mengucapkan terima kasih kepada pimpinan dan anggota DPRD Bandar Lampung untuk pembangunan di Bandar Lampung.Â
Herman HN mengatakan, Jerman dan Tiongkok juga akan berinvestasi di Bandar Lampung di bidang bisnis, perhotelan, usaha kreatif, dan lain-lain.
“Namun jangan kita berpuas diri masih banyak hari depan dan kita tingkatkan lagi. Yang penting rakyat sejahtera, ini adalah uang rakyat untuk rakyat,” pungkasnya.  [Jenny Wulan Suryani]