Oleh: Irma Lusi Nugraheni dan Yul Martin
(Dosen Universitas Lampung)
KERUSAKAN lingkungan dapat meningkatkan risiko bencana alam di berbagai negara termasuk Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan wilayah yang terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik yang saling bertabrakan, dapat dikatakan sebagai negeri dengan “seribu bencana”.
Pada tahun 2005, UNESCO telah menempatkan Indonesia pada urutan ke tujuh negara yang paling rawan di dunia. Sebanyak 95 persen kejadian bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi.
Yaitu bencana yang dipengaruhi cuaca. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, hingga 14 Desember 2018 sepekan sebelum bencana tsunami di Selat Sunda menerjang telah terjadi 2.436 kejadian bencana di Indonesia.
Secara umum, tren bencana meningkat selama satu dekade terakhir, dan didominasi oleh bencana banjir, longsor, dan puting beliung.
Banjir parah terjadi di Konawe Utara Sulawesi Tenggara selama 14 hari sejak 2 Juni 2019 hingga 16 Juni 2019. 6 kecamatan, 3 kelurahan, dan 38 desa yang terendam banjir. Bahkan 185 rumah warga hanyut, 1.235 rumah terendam banjir, dan 5.111 jiwa dari 1.420 kepala keluarga harus mengungsi.
Puting beliung Angin puting beliung berhembus kencang melanda beberapa titik di Kabupaten Bangka. Pusaran angin bahkan terkonsentrasi di Desa Pemali Kecamatan Pemali sampai merobohkan tiang listrik dan juga merusak atap rumah warga bulan Juni 2019.Kondisi terjadi saat hujan dan petir disertai gemuruh guntur.
Bencana Longsor yang terjadi di Kampung Garehong, Kadusunan Cimapag, Desa Sirnaresmi, Cisolok, Sukabumi pada bulan januari 2019 menimbulkan 9 korban jiwa,4 luka-luka dan 34 korban masih dicari.
Terakhir kita menyaksikan berbagai kejadian akibat tanah longsor dan banjir di Jakarta dan Bogor yang menelan korban jiwa.
Banyak daerah di Indonesia yang masuk kategori rawan longsor. Menurut catatan, setiap tahun korban meninggal akibat tanah longsor mencapai 200 orang. Hingga Februari ini setidaknya sudah lebih 20 orang korban tanah longsor.
Potensi kerawanan gerakan tanah itu meningkat seiring curah hujan yang melanda berbagai daerah. Kasus yang terjadi di kawasan Puncak dan beberapa tempat di Jawa Barat, tak lepas dari wilayah rawan gerakan tanah tersebut.
Penyebab munculnya bencana tanah longsor sebetulnya bermacam-macam,mulai dari erosi tanah, gempa bumi,gunung meletus,getaran, tingginya curah hujan,hutan gundul,tumpukan sampah,lereng dan tebing yang terjal, lahan pertanian di lereng,ketidak padatan tanah, kelebihan beban,dan masih banyak faktor penyebab lainnya.
Namun penyebab yang paling sering muncul adalah munculnya erosi, hujan, kemiringan lereng, pertanian di lahan miring dan permukiman padat.
Kondisi tanah Indonesia yang subur membuat masyarakat berlomba-lomba berusaha untuk membuka dan menempati lahan-lahan baru.
Masyarakat terpikat untuk menempati lahan tersebut sebagai tempat tinggal akibat dari kebutuhan akan tempat tinggal yang dirasa makin hari makin meningkat akibat dari kepadatan penduduk.
Selain itu pula masyarakat juga melakukan aktivitas pertanian di lahan-lahan subur tanpa memperhatikan dengan jeli, seberapa besar resiko bencana erosi tanah longsor yang akan terjadi akibat dari kemiringan lereng,tanah yang tidak stabil, resapan air, kondisi struktur batuan dan lain sebagainya.
Kondisi ini yang seharusnya betul betul harus disadarkan kepada masyarakat Indonesia akan sangat bahayanya untuk tinggal atau bertani di wilayah-wilayah rawan erosi longsor.
Sebetulnya, jika berbicara tentang masyarakat lokal,tentunya mereka paham dan sadar akan kondisi tanah kelahiran mereka.Tentunya mereka tahu bagian wilayah mana dari wilayah mereka yang tidak boleh digunakan untuk tempat tinggal ataupun bercocok tanam.
Mereka juga mematuhi aturan-aturan yang dibuat oleh pemangku adat dan sesepuh untuk tetap melestarikan dan bersahabat dengan alam sebagai bagian dari kearifan lokal.
Sayangnya, kebutuhan akan pangan dan papan nampaknya lebih dominan saat ini dibanding upaya pelestarian alam.Akibatnya masyarakat kini lebih berani untuk melanggar larangan nenek moyang demi urusan duniawi mereka seperti menebang pohon, memotong lereng, melakukan kegiatan pertanian di lahan miring dan membangun rumah di lereng-lereng dengan tanah yang rentan longsor.
Sehingga mereka saat ini sudah tidak lagi terlalu perduli terhadap adanya resiko bencana longsor. Ditambah lagi budaya masyarakat Indonesia yang cenderung menganggap bahwa bencana yang terjadi dan dialami oleh mereka disebabkan oleh Tuhan yang Maha Esa sehingga apa yang terjadi,sudah merupakan takdir dari Yang Maha Kuasa.
Jika sudah demikian,maka yang terjadi adalah sulitnya pemberian edukasi yang tepat kepada masyarakat yang tinggal di wilayah rawan longsor untuk tidak melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan longsor.Tentu akan sulit sekali. Kenapa?
Karena bagi persepsi mereka, wilayah yang mereka tinggali selama ini itulah tanah kelahiran dan tanah leluhur mereka,yang walaupun dikatakan rawan longsor dan sudah banyak memakan korban, tapi tetap mereka tidak akan mau pindah. Bisa jadi rumah mereka sudah tertimbun longsor,atau salah satu keluarga mereka menjadi korban longsor, namun kalaupun mereka pindah,pasti tidak akan jauh-jauh dari lokasi tempat tinggal awal mereka.
Sementara, biasanya wilayah yang sudah pernah terjadi longsor, tidak menutup kemungkinan wilayah sekitarnya juga akan terjadi longsor pula.
Oleh sebab itu, dibutuhkan sinergi yang kuat, antara pemerintah daerah, pemangku adat dan pemuda-pemuda sebagai relawan terdidik untuk menjadi mediator dalam mengedukasi warga masyarakat tentang ancaman bahaya longsor.
Sebenarnya masyarakat sudah tahu,hanya saja karena kurang tegasnya upaya edukasi penyadaran, maka mereka seolah-olah enggan untuk pindah dan memilih bertahan di lokasi asal.
Pemerintah daerah sebagai bagian dari pemerintah pusat yang juga memiliki data-data lengkap tentang wilayah-wilayah mana saja yang memiliki potensi tinggi terjadinya longsor. Hasilnya hendaknya diinformasikan kepada masyarakat baik secara langsung,berupa jalur resmi (penyuluhan) dan menunjukkan langsung kondisi rawan longsor itu yang seperti apa, maupun tidak langsung,yaitu dapat melalui sebaran informasi di internet.
Kinerja pemerintah harus lebih diberdayakan terutama dalam mitigasi bencana longsor yaitu dengan terus menerus paling tidak sebulan sekali memberikan pengetahuan mitigasi bencana dengan turun langsung ke masyarakat dan memberikan simulasi tentang bagaimana upaya yang dapat dilakukan jika terjadi bencana longsor secara tiba-tiba sehingga tidak timbul korban jiwa lagi.
Program-program yang dibuat oleh pemerintah hendaknya juga melibatkan para aparat desa dan pemangku adat yang notabene merupakan aparat yang paling dekat dengan masyarakat.
Pembentukan peraturan, perencanaan penanganan bencana hingga penyusunan anggaran hendaknya harus melibatkan aparat dan pemangku adat yang disegani serta masyarakat itu sediri.
Karena dengan demikian akan timbul rasa kepatuhan dan kesadaran sendiri bahwa menjaga dan menjauhi longsor sangat penting dibandingkan hanya cukup berpasrah atau hanya melakukan upaya pencegahan tradisional tanpa memikirkan jangka panjangnya.
Dengan demikian masyarakat karena ikut dilibatkan secara langsung maka dapat memahami dengan kesadaran tinggi tentang siklus penanggulangan bencana, yakni pencegahan, mitigasi, rencana siaga, peringatan dini, kesiapsiagaan, kajian darurat, rencana operasional, tanggap darurat, pemulihan, rehabilitasi, dan rekonstruksi tanpa ada paksaan.
Demikian pula dengan anak mudanya. Mereka dibekali ilmu disekolah tentang bahaya longsor,yang harapannya ketika di rumah dapat sebagai penyambung lidah dan mencontohkan upaya-upaya yang dapat dilakukan jika terjadi longsor.
Masyarakat bisa dikatakan sebagai objek bencana karena masyarakat adalah korban dari sebuah peristiwa bencana dan pihak pertama yang langsung berhadapan dengan bencana.
Oleh karena itu, kesiapan masyarakat menentukan besar kecilnya dampak dari sebuah bencana yang terjadi di masyarakat itu sendiri. Sementara itu, masyarakat bisa juga dikatakan sebagai subjek bencana karena masyarakat yang terkena bencana merupakan pelaku aktif untuk membangun kembali kehidupannya.
Meskipun terkena bencana, masyarakat masih mempunyai kemampuan untuk ikut serta dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah terdampak bencana serta yang tak kalah penting, masyarakat harus meningkatan kemampuan diri untuk menghadapi kerentanan akibat bencana yang sewaktu-waktu bisa datang kembali. []