Rabu, Desember 18, 2024

Top Hari Ini

Terkini

Opini: Ekosistem Pesisir dan Mitigasi Bencana di Pulau-Pulau Kecil

Kerusakan di Pulau Sebesi akibat tsunami erupsi Gunung Anak Krakatau. | Dokumentasi

Oleh Nazdan
(Mahasiswa Program Studi dan Doktor Ilmu Lingkungan Fakultas Pascasarjana Universitas Lampung)

PULAU-PULAU kecil adalah daratan kecil di tengah laut yang rawan terhadap cuaca ekstrim dan bencana. Provinsi Lampung memiliki 132 pulau-pulau kecil, dan 22 di antaranya berpenghuni. Posisi pulau-pulau yang berada ditengah laut secara langsung meletakkan penduduknya dalam kondisi waspada bencana.

Pendahuluan
Provinsi Lampung secara geografis terletak di ujung selatan Pulau Sumatera dan posisinya di kelilingi oleh 3 (tiga) perairan penting di Indonesia yaitu; Samudera Hindia di sebelah Barat, Selat Sunda di Tenggara, dan Laut Jawa di Timur.

Selain itu, daratan Lampung juga dilintasi rangkaian pegunungan aktif yang terkenal dengan sebutan Bukit Barisan Selatan. Di mulut Teluk Lampung, tepatnya di perairan Selat Sunda terdapat gunung berapi legendaris yaitu Anak Gunung Krakatau. Gunung di tengah laut ini hingga sekarang masih terus menerus menyemburkan asap dan material dari perut bumi.

Belum lama, pada tanggal 22 Desember 2018, anak gunung krakatau meletus dan longsor sehingga menyebabkan gelombang tsunami lebih dari 2 meter yang memporak-porandakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Provinsi Lampung dan Banten.

Provinsi Lampung memiliki 132 pulau-pulau kecil, dan 22 diantaranya berpenghuni. Posisi pulau-pulau yang berada ditengah laut secara langsung meletakkan penduduknya dalam kondisi yang rawan bencana.

Seperti yang dikatakan Dahuri (1996), sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia selain memiliki kekayaan sumber daya alam pesisir yang melimpah, juga memiliki potensi bencana alam yang sangat tinggi. Jenis bencana yang berpotensi mengancam pulau-pulau kecil dan isinya antara lain adalah tsunami, gelombang pasang, badai, gempa, tanah longsor, dan kekeringan.

Potensi bencana di perairan Provinsi Lampung

Wilayah Pantai Timur Lampung yang membentang sepanjang 220 km merupakan pantai yang dipengaruhi langsung oleh Laut Jawa seperti halnya Pantai Utara Jawa (pantura).

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan oleh Ruswandi et al (2008) dengan metode Interpretive Structural Modeling dan pendapat para pakar, bahwa bencana potensial di pantura adalah gelombang pasang diikuti banjir dan abrasi.

Wilayah pantai barat Lampung berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, dengan garis pantai sepanjang 210 km. Di wilayah perairan ini Lampung memiliki 2 (dua) pulau yaitu, Pulau Betuah dan Pulau Pisang. Pulau Betuah merupakan pulau terluar, dan Pulau Pisang adalah pulau berpenghuni dengan yang terdiri dari 6 (enam) desa dan 413 kepala keluarga.

Seperti halnya di Ciamis, Jawa Barat, yang berhadapan dengan Samudera Hindia, Ruswandi et al (2008), mengatakan bahwa bencana potensial di wilayah seperti ini adalah gempa bumi, tsunami, diikuti oleh gelombang pasang.

Gempa dan tsunami menjadi momok menakutkan bagi penduduk yang tinggal di wilayah pesisir bagian barat pulau Sumatra (Diposaptono, 2007). Ini terjadi karena posisi Sumatra yang berada di pertemuan dua lempeng bumi, yakni lempeng Indo-Australia yang terus aktif menunjam ke bawah lempeng Eurasia.

Sehingga, membuat lempeng Eurasia terus bergeser dan menimbulkan patahan yang memanjang dari ujung utara hingga ke ujung selatan Sumatra. Pergeseran lempeng tersebut rata-rata 70 mm/tahun. Selain itu Triyono (2019), mengatakan bahwa ancaman Sunda megathrust memang nyata dan bisa terjadi kapan saja.

Menurutnya, ancaman yang paling berpeluang ada di sepanjang Pantai Barat Sumatera dan jaraknya sekitar 200-250 km di laut lepas. Tulisan ini bertujuan untuk menggali peran dan fungsi pengaman alami dalam perlindungan pantai di pulau-pulau kecil sebagai bentuk mitigasi bencana. Pengaman alami dimaksud adalah ekosistem terumbu karang dan mangrove.

Pulau-pulau Kecil dan Mitigasi Bencana

Penduduk pulau-pulau kecil di Lampung memiliki ketergantungan yang sangat besar atas pasokan bahan pangan, bahan bakar, termasuk juga layanan kesehatan dari daratan utama (Pulau Sumatera).

Bahkan beberapa pulau yang termasuk dalam pulau sangat kecil seperti Pulau pasaran, Pulau Tegal, Pulau Tangkil, Pulau Kiluan, dan Pulau Pisang, seluruh kebutuhan pangan, energi dan air bersih sangat mengandalkan pasokan dari daratan utama. Adapun batasan pulau sangat kecil berdasarkan undang-undang No. 32 Tahun 2014 tentang kelautan, adalah pulau yang mempunyai luas kurang dari 100 km2 atau lebarnya kurang dari 3 km.

Setiap tahun, pada saat musim barat di pantai barat Lampung, musim timur di Selat Sunda dan Laut Jawa, angin cenderung bertiup kecang sehingga menimbulkan gelombang tinggi yang berdampak pada terputusnya untuk sementara waktu pasokan kebutuhan dasar penduduk di pulau-pulau kecil.

Demikian pula bila ada bencana yang melanda wilayah pesisir Lampung seperti bencana Tsunami Lampung-Banten pertengahan Desember 2018, berdampak pula terhadap pasokan bantuan bencana ke pulau-pulau kecil.

Menimbang seluruh persoalan ini, mitigasi bencana di pulau-pulau kecil perlu dipersiapkan dengan matang dan berkelanjutan untuk mengurangi dampak negatif bila terjadi bencana.

Menyadari potensi bencana alam yang ada, lantas bagaimana kesiapan pulau-pulau kecil dalam menghadapi bencana terutama bencana tsunami.

Pengetahuan tentang kondisi ekosistem sebagai benteng alami, kesiapan peringatan dini, kemantapan jalur evakuasi, ketersediaan energi, ketahanan pangan masyarakat pulau, kearifan lokal, manajemen bencana pemerintah, kapasitas dan peran aktor dalam mitigasi bencana di pulau-pulau kecil adalah beberapa pertanyaan yang menuntut jawaban dalam rangka mitigasi bencana di pulau-pulau kecil.

Secara umum, mitigasi adalah proses mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk meminimalkan dampak negatif bencana yang akan terjadi di masa datang di suatu daerah tertentu.

Mitigasi merupakan investasi jangka panjang bagi semua lapisan masyarakat, dan disadari menjadi kebutuhan atas rasa keamanan masyarakat ketimbang berfikir cara mengatasi bencana yang telah terjadi.

Upaya-upaya yang dilakukan sebelum terjadinya bencana khususnya usaha pencegahan dan kesiapsiagaan, menjadi sangat penting untuk mengurangi adanya korban dan kerugian akibat terjadinya bencana, dan mungkin juga dapat memudahkan usaha manusia untuk menyelamatkan diri pada saat terjadinya darurat bencana.

Lebih lanjut seluruh upaya tersebut oleh pemerintah daerah dapat dikelola dalam bentuk manajemen penanggulangan bencana, sebagai salah satu bentuk implementasi dari upaya adaptasi dan pemenuhan kebutuhan tentang rasa aman dari dampak buruk dan fatal yang mungkin terjadi sebagai akibat dari adanya bencana.

Bentuk dan tingkat efektivitas mitigasi bencana alam yang dapat diterapkan seringkali tidak sama antara satu upaya dengan upaya yang lain, atau satu wilayah dengan wilayah lain, tergantung pada jenis dan intensitas bencana alam yang terjadi (Subandono, 2007).

Kajian secara akurat dan langsung mengenai bentuk dan efektivitas mitigasi bencana alam di suatu daerah seringkali sulit dilakukan karena bencana alam seringkali sulit diprediksi.

Walau demikian, kajian efektivitas mitigasi bencana alam suatu daerah dapat dilakukan dengan membandingkan sistem yang sama yang telah dilakukan dalam penanggulangan bencana sejenis di tempat lain sebagai bentuk pendekatan kesiapsiagaan.

Setelah melakukan kajian di Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat, yang karakter wilayah pesisirnya dipengaruhi Samudera Hindia, dalam penelitiannya, Ruswandi et al (2008) memperoleh kesimpulan bahwa potensi bencana yang berpeluang besar terjadi dan berbagai bentuk mitigasi yang dapat diterapkan dipilih dengan mempertimbangkan empat parameter untuk melakukan penilaian, yaitu: aplikasi mitigasi bencana yang sesuai dengan sumberdaya lokal, ketersediaan dana, kemudahan akses menuju lokasi perlindungan sementara, serta perhitungan lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai lokasi aman.

Ekosistem Terumbu Karang dan Mangrove sebagai pelindung bencana.

Melalui proses alami, sebenarnya pulau-pulau kecil telah membentuk benteng perlindungannya sendiri seperti ekosistem terumbu karang yang melindungi pulau dari hempasan gelombang, ekosistem mangrove melindungi pulau dari hembusan badai/angin kencang yang destruktif, vegetasi pantai dan vegetasi dalam pulau melindungi dari longsor maupun kekeringan.

Namun karena desakan aktifitas manusia, keseimbangan ekosistem dalam pulau-pulau kecil mengalami degradasi.

Gambar 1. Terumbu karang yang rusak mengurangi lebih sedikit energi gelombang dibandingkan terumbu yang sehat. Terumbu karang yang tidak sehat tidak dapat melindungi pantai dari erosi atau cuaca ekstrem. (ilustrasi: The Nature Conservancy).

Ekosistem terumbu karang seperti yang diungkapkan dalam Ferrario et al (2014), memiliki peran untuk mengurangi dampak bencana antara lain adalah ; fringing reef (karang penghalang) dapat mereduksi kecepatan arus dan energi gelombang, serta mencegah abrasi.

Sementara terumbu karang dalam bentuk flat yang terhampar cukup luas di kedalaman 1 sd 2 meter akan mengurangi gerak gelombang ke arah darat hingga 50% dari energi gelombang yang tersisa.

Secara umum, berdasarkan meta-analisis Ferrario juga, diketahui bahwa terumbu karang dapat memberikan perlindungan substansial dari bencana alam dengan mengurangi energi gelombang rata-rata 97%, dan puncak terumbu karang mampu menghilangkan sebagian besar dari energi gelombang sebesar 86%.

Studi yang dilakukan Ferrario dan kawan-kawan juga menemukan bahwa terumbu karang yang sehat dapat mengurangi ketinggian gelombang hingga 51 hingga 74 persen, sementara struktur buatan seperti pemecah gelombang hanya dapat mengurangi ketinggian gelombang 30 hingga 70 persen.

Studi ini juga memperkirakan bahwa biaya terumbu karang lebih murah daripada struktur buatan seperti bangunan talud maupun break water.

Para penulis membandingkan harga proyek restorasi karang dengan harga pemecah gelombang buatan, dan menemukan bahwa biaya pembuatan pemecah gelombang buatan rata-rata memerlukan biaya 15 kali lipat lebih mahal daripada proyek restorasi terumbu karang.

Hutan bakau, yang sering disebut dengan mangrove mempunyai karakteristik yang unik dibandingkan dengan formasi ekosistem hutan lainnya. Keunikan hutan tersebut dapat dilihat dari habitat tempat hidupnya, dan juga dari keanekaragaman flora, seperti : Avicennia, Rhizophora, Bruguiera, dan tumbuhan lainnya yang mampu bertahan hidup pada salinitas air laut.

Hutan mangrove juga memiliki fungsi ekonomi dan ekologi. Fungsi ekonomi yang ada di hutan mangrove yaitu sebagai penghasil kebutuhan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit. Sementara fungsi ekologisnya yaitu sebagai pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, serta sebagai habitat berbagai jenis burung, dan lain-lain.

Lantas sekarang timbul pertanyaan apakah mangrove dapat menahan tsunami ? Pratikto, melalui studinya pada 2002, mengatakan, ekosistem mangrove dapat menjadi pelindung secara alami dari bahaya tsunami. Mangrove mereduksi tinggi gelombang sebesar 0,7340, dan merubah energi gelombang sebesar (E) = 19635,26 joule.

Dalam beberapa eksperimen yang dilakukan menunjukan bahwa melalui analis permodelan, mangrove dengan luas 100 m yang didalamnya terdapat 30 batang pohon akan dapat mengurangi kecepatan aliran tsunami sebesar 90%.

Populasi pesisir sangat rentan terhadap dampak peristiwa ekstrem seperti badai dan angin topan, dan tekanan ini dapat diperburuk melalui pengaruh perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut. Ekosistem pesisir seperti hutan bakau adalah semakin dipromosikan dan digunakan sebagai alat dalam strategi pertahanan pesisir.

Namun, masih ada kebutuhan mendesak untuk lebih memahami peran ekosistem yang dapat dimainkan dalam mempertahankan pantai.

Tulisan ini berfokus pada hutan bakau dan peran yang dapat mereka mainkan dalam mengurangi angin dan gelombang besar. Sementara hutan bakau biasanya ditemukan di pantai dengan sedikit energi gelombang masuk, mereka mungkin menerima gelombang yang lebih besar selama badai, angin topan dan periode angin kencang.

Angin kencang dan gelombang besar dapat menyebabkan banjir dan kerusakan infrastruktur pesisir. Dengan mengurangi energi gelombang dan ketinggian, hutan bakau berpotensi mengurangi kerusakan terkait.

Anna dan kawan-kawan (2012), dalam studinya menemukan semua bukti yang menunjukkan bahwa bakau dapat mengurangi kecepatan angin dan hempasan gelombang pada jarak yang relatif pendek (Tingkat atenuasi gelombang antara 0,0014/m dan 0,011/m) : tinggi gelombang dapat dikurangi antara 13% hingga 66% yang melalui hutan bakau (mangrove) setebal 100 m.

Tingkat pengurangan tinggi gelombang tertinggi per satuan jarak terjadi di tepi hutan bakau, ketika gelombang memulai interaksinya dengan hutan bakau. Sejumlah karakteristik bakau mempengaruhi laju reduksi tinggi gelombang dengan jarak, terutama struktur fisik pohon.

Gelombang direduksi paling cepat ketika mereka melewati kerapatan mangrove yang lebih besar. Bakau dengan akar udara (Rhizophora sp.) akan melemahkan gelombang di air dangkal lebih cepat daripada yang tidak. Pada kedalaman air yang lebih besar, gelombang bisa lewat di atas akar udara, tetapi cabang yang lebih rendah dapat melakukan fungsi yang sama.

Kemiringan pantai dan ketinggian gelombang juga memengaruhi laju reduksi gelombang yang melalui hutan bakau.

Gambar 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelemahan (atenuasi) gelombang di hutan bakau (Anna, 2012)

Meninjau uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ekosistem alami seperti terumbu karang (coral reef) dan hutan bakau (mangrove), memiliki peran penting dalam melindungi pulau-pulau kecil dari dampak merusak angin, gelombang, cuaca ekstrim, dan bencana.

Namun demikian efektivitas dari kedua ekosistem tersebut sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain seperti kerapatan mangrove, dan tutupan terumbu karang. Kerapatan mangrove yang semakin besar akan semakin efektif dalam melindungi pantai, dan kondisi tutupan karang yang baik akan mampu mereduksi gelombang dengan lebih baik pula.

Oleh karena itu peran pemangku kepentingan, terutama penduduk pulau-pulau kecil sangat penting untuk menjaga kelestarian ekosistem tersebut sebagai upaya mitigasi bencana. Sebagai bentuk kemandirian untuk menciptakan rasa aman dan nyaman di pulau tempat tinggalnya sendiri.

Daftar Pustaka
Anna L. McIvor et al. 2012. Reduction of Wind and Swell Waves by Mangroves. The Nature Conservancy, Cambridge, UK and Cambridge Coastal Research Unit, Department of Geography, University of Cambridge, UK.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J.Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Diposaptono, S. 2007. Meredam abrasi dengan tuntas dalam Diposaptono, S (ed): Sebuah Kumpulan Pemikiran Mengantisipasi Bencana Gempabumi, tsunami, banjir, abrasi, pemanasan global, dan semburan lumpur sidoarjo. PT. Sarana Komunikasi Utama. Bogor. Pp: 85 – 95.
Ferrario, F., Beck, M. W., Storlazzi, C. D., Micheli, F., Shepard, C. C., & Airoldi, L. (2014). The effectiveness of coral reefs for coastal hazard risk reduction and adaptation. Nature Communications, 5(May), 1–9.
Pratikto WA, Suntoyo, Simbodho K, Sholihin, Taufik, Yahya D. 2002. Perencanaan Perlindungan Pantai Alami untuk mengurangi resiko terhadap bahaya Tsunami. Makalah Lokakarya Nasional pengelolaan Ekosistem Mangrove. Jakarta, 6-7 Agustus 2002. Jakarta : Departemen dan Perikanan Republik Indonesia (DKP RI).
Ruswandi, et al. 2008. Identifikasi Potensi Bencana Alam dan Upaya Mitigasi yang Paling Sesuai Diterapkan di Pesisir Indramayu dan Ciamis. Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan, Jilid 18. No. 2, 1-19.
Triyono, 2019. Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG.

Populer Minggu Ini