Jejamo.com, Bengkulu – Bank Indonesia mengatakan meredam fenomena “Super Dollar” yang terjadi saat ini di dunia salah satunya lewat pemanfaatan fasilitas bilateral currency swap agreement (BCSA), hanya saja masih belum dimanfaatkan oleh sejumlah pengusaha yang ada di tanah air.
Menurut Kepala Grup Riset Ekonomi Direktorat Kebijakan Ekonomi Bank Indonesia Yoga Affandi, Bank Indonesia telah menyediakan fasilitas ini khusus untuk kerja sama perdagangan Indonesia dan China, namun belum termanfaatkan hanya karena masalah kebiasaan.
“Fenomena Super Dollar ini hanya masalah kebiasaan, dollar dianggap sebagai alat transaksi paling gampang, padahal kita bisa menggunakan mata uang lain seperti Yuan lewat fasilitas BCSA,” kata Yoga seperti dilansir jejamo.com dari Tempo.co, Jumat, 4/9/2015.
Menurutnya penggunaan Yuan seharusnya lebih luas, apalagi Indonesia banyak melakukan transaksi dengan Cina, sayangnya pengusaha belum memanfaatkan fasilitas ini.
Pada kesempatan ini juga Yoga mengatakan tantangan ekonomi saat ini cukup berat, hal ini bersumber dari beberapa persoalan internal, salah satunya tingginya ketergantungan Indonesia terhadap dollar dan barang impor.
“Kondisi manufaktur kita yang tidak kuat, dan hanya mengandalkan komoditas bahan mentah sementara harga pasar dunia sedang turun pasca membludaknya hasil produksi karet di Thailand, memperparah kondisi ekonomi kita,” ungkapnya.
Namun menurut Yoga kondisi ini ekonomi Indonesia belum masuk kategori krisis moneter, karena nilai tukar rupiah jauh lebih baik dibandingkan dengan Brasil, Meksiko, Afrika Selatan, Turki, bahkan Malaysia.
“Indonesia masih jauh dari krisis. Melemahnya nilai tukar rupiah tidak serta-merta krisis. Ada banyak faktor (yang terjadi) jika krisis ekonomi, tidak fair jika hanya menilai dari nilai tukar rupiah saja,” tuturnya.
Kondisi ekonomi saat ini, katanya merupakan fenomena global, bukan Indonesia saja yang merasakannya, tetapi negara lain juga. Kita menyebut fenomena ini dengan superdolar. Salah satu cara agar rupiah tidak terus tertekan adalah dengan tidak tergantung kepada dolar.
Hal yang sama juga disampaikan Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Tanjungpura, Prof. Eddy Suratman, mengatakan sudah saatnya Indonesia memiliki kebijakan ekonomi yang tidak bergantung terhadap dollar.
“Selama ini semua aktivitas ekonomi Indonesia terutama hubungan dagang antarnegara selalu mata uang dolar sebagai patokan. Padahal pemerintah bisa mengubah mata uang menjadi rupiah atau mata uang apapun dalam hubungan dagang jangan selalu dolar,” kata Eddy saat ditemui menghadiri Pleno ke IX Asosiasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Indonesia di Bengkulu, pada Rabu malam 2 September 2015.
Menurutnya akibat ketergantungan terhadap dolar, kondisi ekonomi Indonesia menjadi rentan seperti yang terjadi saat ini.
Ia menilai secara umum perekonomian Indonesia dalam keadaan sakit akibat terguncang penguatan nilai tukar dollar terhadap rupiah, namun ia menolak jika kondisi tersebut dikatakan krisis.
Menurutnya langkah yang dilakukan pemerintah untuk untuk mengatasi kondisi ini tepat seperti kebijakan fiskal diantaranya meringankan pajak bahkan menghapusnya.
“Ini bukan krisis, saat krisis ekonomi dahulu pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 14 persen, sekarang tidak, semua kawasan tumbuh perekonomian, hanya Kalimantan yang pertumbuhan ekonominya 15 persen,” ujarnya.
Langkah lain yang dapat dilakukan menurutnya, salah satunya penguatan ekspor. Hanya saja ekspor hasil industri bukan bahan mentah. Sehingga ia sangat setuju terkait kebijakan pemerintah mengurangi ekspor bahan mentah seperti yang tertuang dalam Undang-undang Mineral da Batubara Nomor 4 Tahun 2009.
“Ekonom tidak boleh menyetujui ekspor bahan mentah tambang boleh dilakukan, Indonesia harus melakukan ekspor dari industri yang dihasilkan dari dalam negeri,” demikian Eddy.(*)