Rabu, Desember 18, 2024

Top Hari Ini

Terkini

“Bapak, Tunggu Kami di Pintu Jannah”

Muhdi. | jejamo.com

MUHDI Rosyadi. Bukan bekas bupati, juga bukan eks camat. Tak pernah pula dalam hidupnya menjadi lurah atau kepala desa. Ia hanya pensiunan Kantor Wilayah Agama di Serang, Banten.

Tapi, beberapa hari usai ia meninggal dunia, sebuah buku, Muhdi judul besarnya, terbit.

Apa hebatnya almarhum sampai kemudian ada buku khusus soal dia? Meski bukan sebuah biografi utuh, buku ini menggambarkan sosok Muhdi dalam keseharian, sifat, dan sikapnya dalam berkehidupan.

Muhdi memanglah orang biasa. Tapi ia luar biasa di mata sepuluh anaknya: A’la Rotbi, Siti Farida, Ade Utami Ibnu, Irhamni, Fahmi Auladi, Iman Ni’marullah, Rizki Amali, Ihyauddin, Ina Muthmainnah, dan Muhammad Fauzul Adzim.

Sepuluh anaknya itu, dalam istilah orang kita, sudah “jadi orang” semua. Ringkasnya, sukses.

Setidaknya semua sarjana bahkan ada yang magister dan doktor, bekerja di lembaga terhormat, sudah berkeluarga, dan yang lebih penting: punya iman dan akhlak seperti yang Muhdi ajarkan saat mereka kecil.

Satu nama anak Muhdi, cukup akrab dengan publik Lampung. Anak nomor ketiga, Ade Utami Ibnu, adalah anggota DPRD Lampung dua periode. Ade aktif di PKS dan kini menjabat sekretaris umum di DPW Lampung.

Di buku ini, semua anaknya, plus beberapa menantu, ikut menuangkan tulisan mereka. Kesan mereka terhadap almarhum, sampai di mana mereka saat detik-detik Muhdi menemui Sang Pencipta.

Yang menarik, Ade Utami sampai mengutipkan lagu “Termenung” yang pernah populer ditembangkan Ellya Agus yang lebih dikenal dengan nama Ellya Kadam.

Muhdi lahir di Serang pada 4 Maret 1943. Ia wafat juga di Serang pada 24 Desember 2019.

Muhdi meninggal sesaat hendak berangkat umrah bersama istri dan anak-anaknya.

Lantaran drop fisiknya, ia tak jadi berangkat dan mesti opname di rumah sakit. Di tempat tidur rumah sakit itulah, si “Bapak”–panggilan kepadanya dari semua anak-anaknya–itu meninggal dunia.

Ade Utami bercerita, menjelang wafat, Bapak sering melantunkan bait lagi “Termenung”. Ini mengherankan keluarga. Pasalnya, selama hidup,

Muhdi memang tak punya minat sama sekali dengan dunia nyanyi. Ponsel pun tak ada.

Hidupnya habis untuk bekerja sebagai abdi negara, mengisi waktu dengan membaca buku, mengajar mengaji, dan membersamai anak-anak di rumah.

Ade bercerita kepada saya. Beberapa diksi dalam lagu “Termenung” itu merujuk kepada Allah Swt. Misalnya kata “Kau”, “Kekasih”, “Mu”, “Engkau” diyakini Ade bukan bermakna kekasih hati seperti istri atau anak-anak.

“Saya memaknai lantunan Bapak itu bermakna Allah Swt. Ia sudah kangen dengan Allah Swt,” ujar Ade Utami Ibnu.

Bapak dikenal semua anak-anak sebagai sosok yang galak dalam bersikap. Apalagi saat anak-anak “nakal”, ia tak segan-segan menghukum.

Bahkan, terkadang ujarannya saat marah cukup mendalam, kena di hati. Untunglah, Rohimah, istri Bapak, ibu dari sepuluh anak-anak itu, lembut dan bisa menyejukkan.

Namun, semua anak-anaknya sepakat, Bapak adalah sosok yang mengayomi. Jika sudah ada di dapur, masakan Bapak lebih enak ketimbang ibu mereka.

“Hobi Bapak memasak. Bapak jago membuat pecak ikan dengan sambal. Ia juga pintar membuat pepes ikan dengan daun kemangi,” kata Iman Ni’matullah, anak keempat, dalam buku ini di halaman 94.

Pendidikan agama menjadi sesuatu yang penting bagi anak-anak Muhdi. Semua memperoleh pendidikan agama yang kental di pondok pesantren. Sebagian besar di Pondok Pesantren At-Thahiriyyah, Serang, Banten. Ade Utami termasuk di antaranya.

Maka, tak heran jika pemahaman dan pengetahuan agama sepuluh anak-anak Muhdi dan Rohimah ini luas dan mengejawantah dalam amal keseharian.

Sederhana, berani, tegas, jujur, dan seabrek kesan baik lainnya diingat terus semua orang yang pernah berinteraksi dengan Muhdi. Apalagi bagi sepuluh anaknya.

Jika kemudian buku ini terbit dan ditulis oleh A”la Rotbi dan adik-adiknya, sesungguhnya hanya sebagian kecil amal saleh anak kepada orangtua.

Setidaknya, ini memberikan kesan yang baik bahwa budi baik itu memang dibawa mati. Tapi meninggalkan bacaan untuk ibrah anak, cucu, dan cicit serta kerabat lain adalah sebuah kebaikan.

Doa tak putus-putus dilafalkan ke hadiran Ilahi Rabbi. Semua doa bermuara pada satu tujuan, agar Bapak menetap di surga, di jannah Allah Swt.

Artikulasi lisan pun keluar dari ujaran semua anak-anak.

“Bapak, tunggu kami di pintu jannah.” []

Judul Buku: Muhdi, Kisah Inspiratif Bapak dan Sepuluh Anaknya

Penerbit: Pustaka Birrul Walidain

Tebal: 200 halaman

Populer Minggu Ini