Jejamo.com, Lampung Timur – Anggota MPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Junaidi Auly mempertanyakan indikator yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengukur tingkat kemiskinan di Indonesia.
Menurutnya, standar biaya pengeluaran maksimal Rp401.220 per bulan sebagai indikator kemiskinan sangat tidak relevan dengan realitas kebutuhan hidup masyarakat saat ini.
“Garis kemiskinan di Indonesia per Maret 2018 yaitu Rp401.220 per bulan atau Rp 13.777 per hari. Artinya jika seseorang berpenghasilan Rp14.000 per hari maka ia dianggap tidak miskin,” ungkap Junaidi dalam agenda Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaaan di Batanghari, Lampung Timur (18/7/2018)
Ia menambahkan, ditengah harga-harga kebutuhan pokok yang terus naik, pendapatan Rp 13.777 per hari tidak akan cukup untuk sekedar biaya makan sehari-hari.
Belum lagi, jika berbicara tentang kebutuhan-kebutuhan lainnya seperti bayar listrik, biaya sekolah, biaya transportasi dan lainnya.
“Seharusnya pemerintah menggunakan indikator yang lebih realistis dalam mengukur tingkat kemiskinan masyarakat, sehingga data yang dihasilkan benar-benar bisa mencerminkan kondisi masyarakat,” kata Anggota yang biasa disapa Bang Jun ini.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu BPS mengeluarkan rilis yang menyebutkan bahwa pada Maret 2018 jumlah penduduk miskin dengan pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis kemiskinan di Indonesia mencapai 25,95 juta orang (9,82%) atau berkurang 633,2 ribu orang dibandingkan pada September 2017 yang mencapai 26,58 juta orang (10,12%).
“Kita tidak boleh terpedaya oleh angka statistik itu, karena saya kira angka tersebut kurang bisa mewakili realita di lapangan,” ujarnya.
Selain itu, Bang Jun juga mempertanyakan waktu pelaksanaan survey yang dilakukan BPS beberapa saat setelah disalurkannya program berupa bansos tunai, beras sejahtera (rastra), dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
Menurutnya, persentase kemiskinan turun adalah wajar bahkan bukan hal yang luar biasa karena disaat penyaluran dana bansos pada kuartal 1 2018 Januari-Maret yang mencapai 87,6% padahal di periode yang sama tahun 2017 lalu hanya 3,39%, saat disurvei memang kondisi masyarakat sedang baik.
“Tapi lihat sekarang, harga telur naik saja masyarakat sudah resah,” kata Bang Jun.
Jika dibandingkan dengan periode tahun 2009-2014, menurut Bang Jun justru terjadi perlambatan pengurangan tingkat kemiskinan di Indonesia yang berkurang rata-rata 0,63%/tahun, sedangkan pada periode 2014-2018, kemiskinan berkurang rata-rata hanya 0,38%/tahun.
Bang Jun menegaskan, kedepan pemerintah jangan hanya menawarkan solusi yang bersifat praktis seperti penyaluran bansos untuk sekedar merubah angka statistik kemiskinan, harus ada program unggulan yang menyentuh akar permasalahan dan juga peningkatan pendapatan riil masyarakat.
“Pemerintah juga perlu kaji ulang terkait standar kemiskinan, jangan sampai orang miskinnya tidak berkurang, malah standar kemiskinannya yang dikurangi,” tutup Bang Jun yang juga Alumni Pascasarjana Universitas Lampung ini dalam rilis yang dikirim ke jejamo.com pagi ini.(*)