Minggu, November 10, 2024

Top Hari Ini

Terkini

AJI Bandar Lampung Rilis Daftar Pelaku Kekerasan terhadap Wartawan Selama 2017

Ketua AJI Bandar Lampung Padli Ramdan. | Ist

Jejamo.com, Bandar Lampung – Kasus kekerasan terhadap wartawan selama tahun 2017 meningkat dibandingkan tahun  lalu. Berdasarkan catatan AJI Bandar Lampung, tahun ini terjadi lima kasus kekerasan, sementara tahun sebelumnya hanya 4 kasus. Dari lima kasus tersebut, 3 kasus melibatkan anggota polisi, sisanya kekerasan dilakukan anggota DPRD dan warga.

Tiga kasus kekerasan yang melibatkan polisi adalah kasus salah tangkap terhadap wartawan Trans Lampung yang meliput kasus penggerebekan kampung narkoba di Pesawaran. Kasus pelarangan liputan dan penggeledahan terhadap dua jurnalis di Way Kanan. Peristiwa ini melibatkan Kapolres Way Kanan yang saat itu masih dijabat AKBP Budi Asrul.

Kasus terakhir adalah kekerasan yang dilakukan anggota Brimob terhadap jurnalis Bongkar Post di Lampung Utara. Dalam kasus terakhir ini, pelaku melakukan kekerasan fisik dengan memukul dan menendang jurnalis.

Tingginya kekerasan yang melibatkan aparat penegak hukum, terutama polisi, menjadi tanda tanya besar. Aparat kepolisian yang seharusnya melindungi warga, tapi ternyata menjadi musuh pers. Padahal aktivitas jurnalistik dilindungi undang-undang dan seharusnya aparat penegak hukum memahami hal ini.

Dalam dua tahun terakhir, berdasarkan data kasus kekerasan secara nasional, polisi telah menjadi musush kebebasan pers. Polisi banyak menjadi pelaku kekerasan dan institusi ini juga tidak tuntas menangani beberapa kasus kekerasan yang sudah dilaporkan ke Polri.

Apalagi jika yang dilaporkan adalah rekan sesama polisi, Polri menjadi ragu dan cenderung tidak profesional dalam menanganinya.

AJI menyoroti, tingginya angka kasus kekerasan terhadap wartawan yang melibatkan personel Polri akibat tidak adanya sanksi tegas yang diberikan kepada pelaku. Ada dua kasus kekerasan di Lampung, tahun ini, berakhir damai antara pelaku dan korban. Sementara satu kasus yang melibatkan pejabat menengah polisi, Kapolres, hanya berkhir dengan pencopotan jabatan dan mutasi. Tidak ada sanksi yang lebih tegas dari pimpnan Polri di tingkat provinsi hingga Mabes Polri sehingga bisa memutus rantai kekerasan.

Tidak adanya sanksi tegas kepada para pelaku ini juga tidak lepas dari sikap jurnalis dan media yang dengan mudah berdamai dengan pelaku. Padahal kasus kekerasan terhadap wartawan dan penghalang-halangan dalam dalam melakukan kegiatan jurnalistik adalah tindakan pidana yang melanggar UU Pers Nomor.40 tahun 1999.

“Pilihan untuk memafkan adalah manusiawi, tapi jangan sampai menghilangkan kasus pidana sehingga peristiwa serupa tidak berulang. Sikap tegas kepada pelaku ini penting dilakukan agar kasus kekerasan terhadap wartawan bisa disetop dan tidak ada lagi rekan-rekan jurnalis yang menjadi korban atau dihalang-halangi saat meliput serta mendokumentasikan peristiwa,” kata Ketua AJI Bandar Lampung Padli Ramdan dalam siaran persnya hari ini.

Selain kasus kekerasan, AJI Bandar Lampung menyoroti sejumlah kasus pelanggaran etika yang dilakukan oleh wartawan.  Catatan terkait pelanggaran etika ini penting sebagai bahan evaluasi bersama agar wartawan bekerja lebih profesional, memegang teguh kode etik jurnalistik, dan menjaga independensinya.

Dalam catatan AJI, jurnalis kerap membuat berita yang tidak cover both side atau tidak mengonfirmasi pihak yang diberitakan. Konfirmasi ini penting untuk menjaga keberimbangan tertentu sehingga tidak muncul apa yang disebut sebagai penghukuman media atau trial by the press.

“Pelanggaran lain yang kerap dilakukan adalah tidak segera memuat hak jawab atau klarifikasi dari narasumber. Padahal Dewan Pers telah menerbitkan Pedoman Hak Jawab dan dalam UU Pers disebutkan bahwa pers yang tidak melayani hak jawab selain melanggar kode etik jurnalistik juga dikenakan pidana denda sebesar Rp500 juta,” ujarnya.

Dalam beberapa kasus, kekerasan terhadap wartawan juga dipicu akibat aktivitas jurnalistik yang tidak profesional. Misalnya jurnalis menurunkan berita tanpa konfirmasi atau terlambat memuat hak  jawab narasumber yang merasa nama baiknya dirugikan. Narasumber kemudian meluapkan kemarahan dan melakukan kekerasan kepada jurnalis yang dinilai tidak profesional tersebut.

AJI mengimbau semua jurnalis untuk bekerja lebih profesional dan menerapkan kode etik jurnalistik. Mamahami kode etik dan bekerja profesional ini penting untuk menjaga marwah profesi dan menghindarkan wartawan dari kasus kekerasan. Jurnalis menuntut profesi dan lembaga lain harus profesional, tapi tuntutan serupa juga berlaku bagi profesi wartawan agar bekerja lebih profesional.

AJI berharap masyarakat dan semua pihak bisa menempuh mekanisme hak jawab dan klarfikasi atas kekeliruan yang dilakukan jurnalis serta media.

“Masyarakat jangan merespons berita dengan tindakan kekerasan terhadap wartawan karena tidak dibenarkan dalam hukum. Mekanisme di Dewan Pers bisa ditempuh terkait pemberitaan media,” kata Padli.

Setiap kasus kekerasan terhadap wartawan harus dilihat secara jernis dan dipahami kronologisnya karena tidak semua jurnalis layak untuk dibela. Hanya jurnalis yang profesional dan bekerja dengan standar etika yang tinggi yang layak dibela ketika menjadi korban kekerasan.

AJI mengingatkan kepada jurnalis dan media untuk menghormati hak masyarakat dalam mendapatkan informasi. Menjadi kewajiban wartawan dan pers untuk menghadirkan berita yang komprehensif, akurat, kritis, berimbang, dan mengutamakan kepentingan publik.(*)

Populer Minggu Ini