Jejamo.com, Bandar Lampung – Filosofi mendasar dari konsep kekerasan seksual atau RUU P-KS ini bukan pada baik/halal atau buruk/haramnya sesuatu perilaku seksual. Tetapi pada suka atau tidak sukanya (persetujuan) si pelaku melakukan perbuatan tersebut.
Menurut Sekjen Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AiLa) Nurul Hidayati RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadikan feminist yurisprudensi dan feminist legal theory sebagai dasar pembentukan RUU P-KS.
“Karena tujuan RUU P-KS dibentuk untuk mengubah pola pikir masyarakat agar mengadopsi cara pandang feminisme yang berbahaya, yang bertentangan dengan agama dan budaya yang dianut di Indonesia,” ujarnya saat sosialisasi empat pilar MPR RI 2019 di GSG SMA Negeri 2 Bandar Lampung, Minggu, (3/3/2019).
“Di mana setiap bentuk pengaturan terhadap tubuh dan perilaku seksual perempuan mereka anggap bentuk kekerasan berbasis gender atau kekerasan seksual,” lanjutnya.
Nurul menjelaskan, jika RUU P-KS diterapkan, berpotensi melegalkan perzinaan. Sebab, tidak dianggap kekerasan jika dilakukan atas dasar suka sama suka.
“RUU P-KS akan menyuburkan perilaku LGBT, berpotensi melegalkan prostitusi dan aborsi apabila perilaku tersebut dilakukan atas kesadaran sendiri,” jelasnya.
Selain itu, pemerkosaan, perbudakan seksual dan bentuk-bentuk kekerasan seksual dalam RUU P-KS ini dimaknai secara liberal dan multitafsir.
“RUU ini juga berpotensi mengkriminalisasi hubungan seksual yang halal karena dianggap sebuah pemaksaan,” pungkas dia.
Sebelumnya diberitakan, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia bersama PW Salimah Lampung menggelar Sosialisasi Empat Pilar MPR RI 2019, di GSG SMA Negeri 2 Bandar Lampung, Minggu, (3/3/2019).
Kegiatan sosialisasi ini menghadirkan narasumber anggota MPR RI Fraksi PKS Drs. H. Almuzzammil Yusuf, Sekjen Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AiLa) Lampung Nurul Hidayati dan dihadiri sekitar dua ratusan peserta dari kalangan ibu-ibu. [Andi Apriyadi]