Jejamo.com, Bandar Lampung – Matahari sedikit demi sedikit ingin meghilangkan wajahnya dan akan digantikan dengan bulan yang akan menyinari dunia. Kurang lebih pukul 17.00 lonceng pun berbunyi. Aulia, 9 tahun, duduk di bangku kelas III SD. Ia berpakaian seragam batik merah dan rok merah bersepatu hitam putih bertali dan kaus kaki putih. Ia bergegas pulang dari sekolahnya yang berada di bilangan Way Halim.
Aulia bekerja sebagai penjual koran di lampu merah jalur dua Way Halim. Tepatnya di depan Bank BTN di Jalan Kimaja, arah Mall Boemi Kedaton. Dari sekolah ia berjalan kaki bersama teman-temannya menuju ke tempat yang dituju lengkap dengan pakaian sekolahnya tanpa menggantinya terlebih dahulu.
Sesampainya di sana, dia berjualan koran kepada sejumlah pengendara beroda dua ataupun beroda empat. Tanpa lelah dia tetap menawarkan koran sisa jualan tadi pagi. Di pagi hari ia juga berjualan koran di tempat yang sama.
Sekitar pukul 07.00 ia melangkahkan kakinya dari rumahnya di Jalan Citra Bunga, Kelurahan Jayapura, Kecamatan Way Halim, menuju tempat pengambilan koran. Dia berjalan kaki ke tempat menjualkan korannya.
Ketika jam sudah menunjukkan pukul 11.00, ia berhenti berjualan dan bersiap- untuk berangkat ke sekolah. Saat waktu menunjukkan pukul 17.20, ia tetap menawarkan koran tersebut sambil memakan sebatang es krim.
Ia tidak patah semangat ketika ia menawarkan koran, bahkan ketika lampu lalu lintas menunjukkan warna hijau. Ia tidak bersedih kalau korannya tidak laku. Ia tetap senang bahkan tertawa bersama teman-temannya serasa tidak mempunyai beban sedikit pun. Ia akan terus berjualan sampai sehabis magrib. Aulia mengingatkan kita pada bait lagu “Tugu Pancoran” karya Iwan Fals.
Ketika seorang perempuan berbaju hitam berjilbab merah bertanya kepadanya mengapa ia sampai berjualan koran, Aulia menjawab untuk membantu orangtua demi biaya sekolah.
“Sehari saya dapat Rp20 ribu dampai Rp40 ribu. Semua untuk menambah biaya uang sekolah,” ujarnya kepada jejamo.com, Minggu, 4/12/2016.
Meskipun mungkin menurut orang lain nominal itu kecil, Aulia bersyukur. Ayah Aulia bekerja sebagai kuli, sedangkan ibunya bantu-bantu di rumah tetangga. Aulia tetap berusaha bisa membantu kedua orangtuanya. Ia mencari uang sendiri dengan gigih tanpa mengeluh.
“Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu…”(*)
Laporan Sylvia Khairinnisyah Hutasuhut, Kontributor Jejamo.com