Berita Bandar Lampung, Jejamo.com – Pembaca yang budiman, sastrawan Lampung, Isbedy Stiawan ZS selama beberapa hari berada di Belanda bersama dua penyair lainnya: Juperta Panji Utama dan Arman AZ. Jejamo.com menurunkan tulisan esai Paus Sastra Lampung ini secara berseri. Selamat menikmati.
Istriku, di Amsterdam ini, aku banyak melihat pasangan–entah suami isteri atau kekasih–bergegas menembus dingin sambil berpelukan. Begitu romantis. Aku pun menjadi anak sekolah di depan sang guru.
Udara saat ini 13 derajat celcius, istriku, aku seperti berada dalam kulkas. Sudah berapa butir vitamin C kukunyah. Aku tak ingin kehilangan daya.
Aku tiba-tiba selalu lapar dan makan. Membuat rokok yang kaubekali untukku tak banyak kubakar. Tapi, makanan kesukaanku dan sepertinya wajib, yakni nasi putih dan lauk sambal goreng jengkol atau petai dan julangjaling, tak kutemui di negara Belanda ini.
Kini aku makan kapsalon made in Turki. Makanan kentang dan daging goreng dibaur mentimun, tomat, sayur-sayuran. Kau tahu aku tak suka sayur. Kupilih kentang dan dagingnya saja. Seperti biasa kita di MC Donald ataupun KFC.
Di negeri.Kincir Angin aku rindu makanan yang diolah oleh tanganmu. Tetapi, itu kelak, 20 hari kemudian.
Aku pulang membawa kenangan. Aku.kembali mengantongi imajinasi, meski aku tak tahu apakah puisi masih berguna di tengah kecamuk politik, intrik, fitnah, sindirmenyindir, kejahatan berdasi, pencurian dan pembegalan motor?
Tetapi tak berarti di kota dunia ini lebih aman. Sebab, seperti cerita mahasiswa Indonesia di Rotterdam. Pencurian sepeda terlalu kerap terjadi.
*
Istriku, di Amsterdam aku bermalam. Tak ada bintang di sini. Suhu masih beranjak dari 13. Rinai luruh. Begitu sangat dingin. Tak hanya jaket penghangat kupakai, di dalam berlapis kaus. Aku menginap di sebuah hotel sederhana. Dari jendela kamar aku leluasa memandang kesibukan. Orang-orang melangkah gegas, berpakaian tebal, penutup kepala. Entah menuju ke mana dan keperluan apa.
Sejarah negeri Bunga Tulip ini amat fasih bagi kita. Di suatu masa, negeri dengan penduduk bertubuh tinggi dan tegap, hidung mancung pernah singah dan menjajah bangsa kita. Seluruh kekayaan bumi–rempah, lada, kopi, ataupun pala–diangkut ke negerini. Kala itu.VOC amat berkuasa dan menakutkan.
Tetapi, saat sekarang, aku tak takut lagi. Jiwa perlawanan telah mengakar di diriku. Aku tak waswas ketika di depan mereka. Para pahlawan telah mematri keberanian. Catat, aku anak Indonesia, tak boleh ada bangsa lain memandang rendah, hanya dilihat sebelah mata, satu telapak tangan.
Ya, isteriku, meminjam larik lagu: nenekmoyangku seorang pelaut. Artinya, siap menghadang dan menembus badai. Sampai ke dermaga.
Ah, kukira kau kini sudah lelap. Tak ingin aku mengganggu tidurmu. Juga anakku.
Aku masih ingin jalan. Budi Darma pernah menoreh pesan padaku: sastrawam harus banyak jalan, karema dalam perjalanan akan kaudapati inspirasi.”
Entahlah, aku ragu, apakah sastra masih penting dan diperlukan di dunia yang kini manusianya serba praktis dan fragmatis?
Ketika kejahatan, fitnah, amarah yang mudah pecah, sensasi, publikasi murahan sangat memengaruhi penghuni bumi, masihkah ada waktu menikmati sastra. Masihkah sastra bisa menggoda dan penting dibaca?(*)
Jejamo.com, Portal Berita Lampung Terbaru Terpercaya