Berita Bandar Lampung, Jejamo.com – Pembaca yang budiman, sastrawan Lampung, Isbedy Stiawan ZS selama beberapa hari berada di Belanda bersama dua penyair lainnya: Juperta Panji Utama dan Arman AZ. Jejamo.com menurunkan tulisan esai Paus Sastra Lampung ini secara berseri. Selamat menikmati.
Ini cerita “gagal faham” yang sempat diucapkan penyair Juperta Panji Utama di hadapan civitas akademika yang berhimpun pada PPI Rotterdam, Minggu, 8/11/2015 lalu.
Gagal faham di sini bukan soal memahami karut marut politik, kabut asap yang melanda mayoritas Sumatera dan Kalimantan. Apalagi memaknai apakah negara perlu meminta maaf untuk tragedi 1965-1966.
Ceritanya begini: kami, tim API (Arman, Panji, Isbedy) ke Den Hag untuk melihat suatu pertemuan. Acara selesai pukul 17.30 waktu Belanda. Setengah jam sebelun itu, Panji mengirim pesan melalui blackberry ke Arman, sayangnya setengah jam kemudian baru dibuka.
Isi pesan Panji pendek saja: “aku sudah di gerbang depan.”
Karena tak ada jawaban, Panji mengira sudah kami tinggalkan pulang ke Leiden dengan menggunakan kereta yang ditempuh hanya 30 menit. Aku pun mencoba menelepon lewat aplikasi messenger. Beberapa kali baru dijawabnya, Panji sudah di atas kereta menuju Leiden.
“Maaa kukira aku ditinggalkan, jadi pulang. Inilah ‘nasib’ tak merokok, jadi tak keluar ruangan. Sedang HP-ku kehabisan baterai, ini baru pinjam powerbank penumpang…”
Aku tersenyum. Kami sudah gagal faham. Aku mengira Panji meninggalkan kami, mungkin karena kurang sehat. Panji menduga ia sudah ditinggalkan oleh kami.
Akhirnya Panji menunggu aku dan Arman Az di terminal bus di Stasiun Leiden. Sekira sejam berikut kami jumpa. Menaiki bus ke rumah Prof Hedi. Sebelum sampai rumah, kami menikmati makan malam yang kami beli di stasiun di sebuah taman. Nikmatnya makan di taman. Mengingat-ingat sebuah naskah teater “Petang di Taman”.
Di tembok sebuah rumah ada tulisan yang mirip aksara Jawa. Jangan-jangan itu puisi karya Ronggowarsito, terka Arman.
Cerpenis Lampung itu juga mengatakan, di kawasan ini–Leiden–juga ada puisi Chairil Anwar. Namun, sampai hari ini, Jumat, 13/11/2015, belum dia temukan. Tulisan yang mirip aksara Jawa itu juga belum bisa dipastikan karya Ronggowarsito.
Kalau benar di Leiden, Belanda, ini ada karya dua sastrawan besar Indonesia, betapa bagusnya penghargaan, apresiasi, penghormatan negara ini kepada karya sastra dari bekas jajahannya! Bagaimana negara Indonesia menghargai sastra dari bangsa sendiri?
*
Aku mulai drop. Flu mampir. Musim dingin yang belum pernah kurasakan menyita kekuatan tubuhku.
Untunglah aku “disangu” obat-obatan oleh istriku. Aku tinggal pilih obat mana kutelan untuk mengusir virus menyambangi tubuhku.
Di Belanda ini, istriku, makanan tak terjaga dengan baik. Lapar kerap tandang, namun jika dituruti tampaknya akan menguras uang. Aku perlu cermat dan hati-hati jika merasakan kondisi saku.
Perjalanan di tanah Eropa masih lama. Masih banyak yang akan dilihat dan menggoda. Godaan yang kumaksud ialah barang dan makanan.
*
Apa kabar istriku? Tentu sesiang ini sibuk di dapur dan meladeni Adel yang tak pernah habis baterainya kalau ngomong. Atau menungguku pulang penuh rindu?
Kukira soal rindu, Panji juga sudah sangat merindukan keluarganya. Arman juga. Tetapi membandingkan para mahasiswa Indonesia di sini beberapa tahun, kami belum sebanding.
Menarik sekali kisah Anargha Gunawan, mahasiswa S2 Universitas Erasmus Rotterdam. Baru 2 bulan menikah, ia dapat beasiswa kuliah lagi. Kini ia wakil ketua PPI Leiden. Otomatis ia tinggal bulan madunya.
“Sedih, tapi peluang atau kesempatan jarang datang dua kali,” lirihnya.
*
Hari ini Arman akan mengunjungi Perpustakaan Leiden. Dia akan “renangi” buku-buku, manuskrip, dan lain-lain ihwal Lampung masa lalu. Bisa saja ia “tenggelam” dalam lautan buku. Lebih baik begitu, daripada “tenggelam” di laut luas.
Ilmu pengetahuan, apalagi yang menyangkut masa lalu–sejarah, seni budaya, dan sebagainya–tetap seksi. Tetapi bukan lantas kita “mabuk” pada kebenaran itu. Artinya, apa yang diperoleh dari pendapat orang mesti dicek (ulang) dengan penemuan orang lain lagi.
Tidak ada yang mutlak di bumi ini, apalagi karya manusia.
*
Istriku, pukul 19.00 waktu Leiden, aku dan Panji Utama akan tampil di Universitas Leiden. Kami akan membaca puisi, diskusi, serta memberikan suvenir yang disiapkan Sultan Sekala Brak Dipertuan ke 23 Edward Syah Pernong: sebuah alat musik dari bambu bernama gamolan pekhing.
Pemberian kenang-kenangan ini, kuharap alat musik tradisional Lampung asal Lampung Barat–alat ini hasil kerajinan tangan Syapril Rajo Cetik Yamin–diharapkan membuka pintu bagi kesenian dan budaya Lampung mendunia. Lampung untuk dunia global, itu istilah kami.
Di Leiden sudah pukul 09.17, namun kuucapkan untukmu dan kawan-kawan di tanah air: selamat petang Indonesia.(*)
Jejamo.com, Portal Berita Lampung Terbaru Terpercaya