Berita Bandar Lampung, Jejamo.com – Pembaca yang budiman, sastrawan Lampung, Isbedy Stiawan ZS selama beberapa hari berada di Belanda bersama dua penyair lainnya: Juperta Panji Utama dan Arman AZ. Jejamo.com menurunkan tulisan esai Paus Sastra Lampung ini secara berseri. Selamat menikmati.
Ini malam hujan pertama turun, pertama pula pada musim dingin. Suhu belum juga beranjak dari 13, seperti hendak menafikan angka sial yang diyakini banyak manusia dan bangsa.
Tetapi oramg-orang tak surut, mereka menembus hujan dengan bersepeda. Aku ingin belajar cara disiplin di jalan raya. Mendahulukan pejalan kaki, memberi lajur bagi pesepeda. Tak gampang emosi seperti bangsa kita. Tidak merasa hebat di jalan raya saat memacu mobil.
Saat ini, isteriku, aku di antara anak-anak muda di sebuah kafe hotel di Amsterdam–maaf tak kusebut nama penginapannya lantaran tak begitu penting dan sulit kulafalkan dengan lidah orang kampung sepertiku–menikmati musik. Asap rokok dan bau alkohol.
Isteriku, ingin kutinggalkan ruang ini dan masuk kamar, namun aku masih letih memutari kota: museum Van Gogh dan museum lainnya. Jaketku dan penutup kepalaku basah oleh hujan sepanjang jalan. Padahal ini bukan ruangku, sulit menghindari dari dimensi yang bukan kuinginkan.
Kakau saat ini kau terbangun, dan kuyakin dalam sepertiga malam, berwudu dan salat qiyamullah. Doakan aku, sepenuh harapmu, agar aku tak terperangkap dalam kubangan sampah.
Isteriku, jika kau bangun dari tidurmu, bukalah buku puisi. Jangan biarkan puisi berdebu atau dimakan rayap. Penyair jarang lahir, dan yang masih hidup justru ceriwis dan suka bersolek.
Bahkan, mereka kerap merasa super: meremehkan penyair lain, menepis puisi yang bukan dari kalangannya.
Jika pun puisi tak begitu penting sebab dianggap tak mampu mengubah situasi, puisi masih perlu dibaca. Karena di dalamnya, ada rahasia dari hidup ini.
Selamat pagi isteriku, selamat menatap matahari. Indonesia.
*
Jika ada yang datang padamu membawa bunga tulip, itulah aku. Sekuntum cinta yang kupetik dari negeri jauh, beribu-ribu mil dari rumah kita yang sederhana.
Aku tak tahu kenapa orang menyukai bunga tulip. Apakah karena berwarna-warna? Sebab bunga yang identik dengan Belanda, tak juga aroma. Biasa-biasa saja.
Meski aku kurang menyukainya, kubawa juga untukmu. Kutanam di hatiku, kusuburkan dengan senyum. Tersenyumlah untuk harapan dan kenyataan.
Dan, isteriku, di Belanda ini aku kembali belajar pada puisi: ia setia pada kata, tidak berdusta pada imajinasi, tak pula nyinyir pada cerita. Sebab puisi adalah seni, maka bagaimana aku akan mencintai sesuatu dengan seni. Menyeret langkahku juga dengan seni.
Meski belakangan ini banyak orang menertawakan kesenian. Hal itu disebabkan kita tak mampu merawatnya dengan tanggung jawab.(*)
Jejamo.com, Portal Berita Lampung Terbaru Terpercaya