Berita Bandar Lampung, Jejamo.com – Pembaca yang budiman, sastrawan Lampung, Isbedy Stiawan ZS selama beberapa hari berada di Belanda bersama dua penyair lainnya: Juperta Panji Utama dan Arman AZ. Jejamo.com menurunkan tulisan esai Paus Sastra Lampung ini secara berseri. Selamat menikmati.
Saat ini, pukul 10.22 waktu Amsterdam, aku berada di perut Rijks Museum. Gedung amat besar, beberapa lantai. Di sini tersimpan sejarah masa silam di tiap negara (benua), dari lukisan himgga benda-benda bersejarah.
Aku menjadi kecil dan papa di sini, istriku, dalam keluasan benua tak terperi. Aku menjadi fakir di keriuhan peninggalan sejarah masa silam. Orang-orang hebat sudah lahir ratusan tahun silam, bahkan berabad-abad.
Untuk apa orang-orang yang hidup kini mengunjungi museum ini? Adakah manfaatnya? Kalau tiada guna bagi pelajaran dan kenangan, lantas kenapa pengunjungnya selalu ramai dan berbayar?
Ternyata kita mesti membiasakan anak mengenal sejarah, menyukai museum, mengapresiasi benda-benda masa silam. Di sana, yakinlah, ada yang bisa dipetik untuk meneguhkan sikap dan apresiasi terhadap kebudayaan.
Masyarakat dari berbagai negara berkelompok ataupun perseorangan memgantre beli tiket masuk Rijks Museum Amsterdam ini.
Seperti kukatakan tadi, istriku, berbagai peninggalan sejarah dan benda berabad silam ada di sini. Ada lukisan manusia Aceh hingga Jawa. Dilukis sekira 1812-an. Sungguh, kekayaan seni tak ternilai.
Rasanya tak mampu menyelesaikan hanya sehari mengubek tiap ruangan yang luas dari gedung ini. Ditambah lagi pengunjung sangat ramai di hari Selasa, 10/11/2015 bertepatan Hari Pahlawan bagi bangsa Indonesia.
Setelah Rijks Museum, aku dan Arman Az dan Juperta Panji Utama menuju Museum Van Gogh. Di sini pun mesti antre untuk membeli tiket dan dapat masuk. Dulu aku hanya mendengar nama Van Gogh dan membaca tulisan orang tentang tokoh ini, namun kini aku seperti berkarib walaupun sedikit yang bisa kupahami.
Manusia itu punya batas, karya (seni) manusia tak mengenal zaman. Aku makin meyakini bahwa karya seni jika dilahirkan sungguh-sunguh bagi kehidupan niscaya akan selalu up to date dan melampaui ruang dan waktu.
Istriku, dalam suhu 15 derajat Celsius namun embusan angin tak seperti di tanah air, sungguh sangat dingin dan mengejangkan jemariku. Aku banyak membakar rokok, tapi tak juga menghangatkan badanku.
Aroma alkohol menyengat, tapi aku tak mau digoda oleh minuman seperti itu. Kubiarkan tubuhku menyesuaikan keadaan secara alami. Aku percaya doamu, Tuhan menjagaku.
*
Kini aku berada di Paulus Potterstraat menunggu antre masuk Museum Van Gogh dalam gigil. Langit Rotterdan mendung. Mungkin sesaat lagi hujan dan airnya makin menggigilkan aku.
Saatnya aku merindukan tungku dari hatimu. Bara yang dihidupkan oleh cinta. Kehangatan dalam kasih dan kenyataan.
Seperti para seniman dunia menebar cinta pada manusia dan kehidupan.
Sekiranya di negeri kita museum-museum dihidupkan, apakah akan sesubur di Belanda ini? Entahlah. Tak tahu aku.(*)
Jejamo.com, Portal Berita Lampung Terbaru Terpercaya