Berita Bandar Lampung, Jejamo.com – Pembaca yang budiman, sastrawan Lampung, Isbedy Stiawan ZS selama beberapa hari berada di Belanda bersama dua penyair lainnya: Juperta Panji Utama dan Arman AZ. Jejamo.com menurunkan tulisan esai Paus Sastra Lampung ini secara berseri. Selamat menikmati.
Mendung menyelimuti Amsterdam siang ini, istriku, dan suhu 13 derajat Celsius. Aku di Entrance Amsterdam Museum. Seperti tak bosan masuk keluar museum yang sulit dilakukan di Tanah Air.
Aku seperti masuk dalam pertapaan. Menjauhi hiruk pikuk intrik dan kutukan yang tiap hari selalu ada di Tanah Air. Setiap orang merasa benar, di hadapannya selalu salah sehingga layak dimaki. Jika pun perlu mengacung sekin. Di sini kurasakan berbalik. Manusia Barat yang dicap peradaban bebas, lebih terasa beradab(?). Tertib di jalan raya, disiplin antre, mengucapkan “sorry” jika merasa salah atau tidak sengaja menyenggol orang.
Di Tanah Air, adu otot ataupun mata melotot sering kita saksikan hanya sebab salah lirik atau tak sengaja bertumburan.
Istriku, kini aku di atas bus menuju Borneolin, Amsterdam. Entah untuk apa kami ke kawasan ini. Kami hanya manfaatkan tiket yang sudah dibeli untuk sehari (24 jam). Walaupun tahu di atas bus kalau kami salah menaiki bus. Tetapi yakinlah aku tak tersasar di belukar kota ini.
Amsterdam kutinggalkan malam ini, setelah mengisi perut di Cafe Batavia Stasiun Central Amsterdam. Menuju Rotterdam, sebuah kota yang pernah lebur pada 1940 karena dihujani bom.
Di sini, kali pertama aku mengenal dan mencumbui Belanda. Tiga hari cukup untuk kuketahui lekuk tubuh kota.
Di Amsterdam kami menyambangi muesum Entrance, Museum Pers, dan Museum Maritim.
Aku hanya ikut masuk Pers Museum Borneo Lin. Museum bagi para jurmalis itu tengah memperingati 100 Tahun Pers Netherland.
Aku bangga bahwa Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI pernah menjadi narasumber ihwal pers di Belanda pada 1928. Dan Hatta dibuatkan slide dari foto-fotomya. Sedikit biografi dipajang di sebelah layar, dan backsound lembut.
Berbagai pemberitaan semenjak 100 tahun silam sampai 2015 dipamerkan. Ada Barack Obama, ada pula bacah Aylan Kurdi yang tewas di tepi pantai akibat kejamnya suatu kekuasaan.
*
Aku masih di Stasiun Central Amsterdam, istriku. Maaf baru bisa kubalas sebab tadi sibuk mencari loket tiket. Kata orang banyak bertanya khawatir dicap buyan, sebaliknya kami malas bertanya.
Apalagi aku yang minim kosakata percakapan dalam bahasa global, makin tersisih dari pergaulan. Hanya aku mesti bersyukur, dengan keterbatasan itu aku tak berkomunikasi dengan siapa pun.
Bukankah tunawicara lebih besar peluangnya untuk mencermati dan mengamati manusia lain? Bahkan terhadap gestur orang?
Istriku, aku makin percaya kebenarannya bahwa tidak selamanya diam menunjukkan seseorang cerdas. Sebagaimana peribahasa diam adalah emas.
Dalam sebuah perjalanan tak melulu bergantung pada Maps, tapi juga olah arah dan terka. Menandai sesuatu untuk diingat kemudian.
Kita kerap alpa terlalu meyakini emas, padahal warna kuning bisa saja berupa besi ataupun plastik.
Bunyi belum tentu memekakkan, namun tidak bersuara suatu kesempatan justru amat membahayakan.
Amsterdam jauh tertinggal di belakang. Kuucapkan selamat tinggal. Aku mau tidur di kereta ini mengantarku ke stasiun lain.
Aku sudah sangat capek. Ingin menidurkan keangkuhan, intrik, sok pintar, debat yang hanya meghabiskan energi positif, percakapan yang menjilat, pelukan yang menujah diam-diam, maupun kecupan yang menggigit. Serta senyuman yang menyulut pedang.
Darah siapa yang tumpah? Negeri Holand masih dirundung mendung. Ini musim dingin.(*)
Jejamo.com, Portal Berita Lampung Terbaru Terpercaya