Jakarta, Jejamo.com – Hasil penelitian The Global Carbon Project menunjukkan bahwa pandemi virus corona SARS-Cov-2 dapat menurunkan emisi karbon hingga 5 persen dan paling terbesar sejak Perang Dunia ke-2.
Sebelumnya, emisi karbon sempat turun di angka 1,4 persen saat krisis keuangan global mulai 2007 sampai 2008.
“Saya tidak terkejut melihat penurunan 5 persen atau lebih dalam emisi karbon dioksida tahun ini sejak Perang Dunia ke-2,” kata Profesor Ilmu Sistem Bumi dari Universitas Stanford, Rob Jackson dikutip Unilad, Senin (6/4). Demikian dilansir jejamo.com dari cnnindonesia.com.
Kata Jackson, penurunan emisi karbon ini terjadi setelah beberapa negara memberlakukan kebijakan lockdown yang ketat untuk memutus mata rantai penyebaran virus corona SARS-Cov-2.
Misalnya, China dan Italia. Menurut Badan Antariksa Eropa (Europian Space Agency/ESA), kebijakan lockdown di Italia memiliki efek positif besar pada emisi CO2.
Satelit ESA’s Sentinel-5P memperlihatkan konsentrasi nitrogen dioksida di Italia yang diproduksi oleh mobil dan pembangkit listrik mengalami penurunan drastis sejak 1 Januari hingga 12 Maret 2020.
Sementara di China, menurut pantauan Badan Antariksa Amerika (NASA) dan ESA, kualitas udara di China telah meningkat menjadi lebih baik secara signifikan sejak 1 Januari 2020.
Seperti halnya di Italia, isolasi sosial dan lockdown kota-kota tertentu di China telah mengurangi lalu lintas mobil di jalan, yang artinya gas berbahaya yang dipancarkan oleh kendaraan, pembangkit listrik, dan fasilitas industri hampir berhenti total.
Menurut data yang dihimpun The Global Carbon Project, emisi karbon CO2 di China turun sebanyak 25 persen.
Meski begitu, karena pertumbuhan ekonomi dunia makin sengit, maka dikhawatirkan dapat meningkatkan emisi karbon kembali setelah wabah corona selesai, seperti dikutip National Geographic.
“Ini (penurunan emisi karbon CO2) hanya bersifat jangka pendek di beberapa negara terdampak Covid-19,” kata Analis dari Genscape, Adam Jordan.
Misalnya, pemerintah Amerika Serikat dilaporkan tengah menyelesaikan proyek industri bahan bakar sebesar US$50 miliar bulan ini dan masih berlangsung meskipun di tengah pandemi Covid-19. []