Jejamo.com, Bandar Lampung – Selama kurang lebih 30 tahun, Darsih (65), perempuan asal Tegal, Jawa Tengah, ini memproduksi beragam model sanggul mulai dari tradisional hingga gaya modern.
Darsih atau biasa disapa ibu Endang mengerjakan pembuatan sanggul di rumah kontrakannya di Jalan Kemuning No 40, kelurahan Jagabaya II, Kecamatan Way Halim, Bandar Lampung. Sanggul produksinya terus laku karena dibantu anak lelakinya dalam hal pemasaran.
Dalam membuat sanggul, Darsih, masih menggunakan cara tradisional, dari mulai menyisir rambut, menata, kemudian merangkai menjadi bermacam-macam jenis sanggul.
“Buatnya pakai alat tradisional yaitu kayu yang ditancapkan besi kecil ujungnya lancip itu disebutnya sasakan. Lalu, dibantu dengan menggunakan sisir untuk merapikan rambut yang sudah terkumpul, namun mula-mula rambut dicuci dulu,” ujar Darsih saat ditemui di kediamannya, Kamis, 14/9/2017.
Darsih, mengatakan, rambut yang jadi bahan baku produksi sanggul miliknya didapat dengan cara membeli di salon salon. “Rambut saya dapat beli di salon seharga Rp 200-250 ribu per kilogramnya,” ujarnya.
Dalam sehari Darsih bisa memproduksi 10-15 sanggul. Rata-rata satu sanggul bisa ia selesaikan dalam waktu satu jam. Sanggul yang ia buat berbagai macam jenis mulai dari model solo, malang, tekuk, jawa dan bunga citra lestari. Sanggul tersebut ia jual dengan harga bervariasi tergantung modelnya mulai dari Rp30 sampai Rp75 ribu.
Sanggul produksi Darsih ini sudah memiliki pelanggan tetap yang kebanyakan berasal dari kalangan rias pengantin. Selain itu, ia juga memasarkan sanggulnya ke salon-salon di Lampung dengan dibantu oleh anaknya“Kalau ada yang pesan sanggul bisa langsung diantar ke tempat. Tapi ada juga yang datang ke sini,” tambahnya.
Ibu sembilan anak ini menceritakan, dirinya mendapatkan ilmu membuat sanggul dari orang tuanya. Pertama kali ia belajar membuat sanggul saat memiliki tiga anak.
“Dari situlah sampai sekarang saya masih bisa bikin sanggul untuk menghidupi sembilah anak saya. Sebulan penghasilan dari usaha sanggul bisa Rp 3 juta. Namun, sekarang lagi berkurang karena sedang sakit,” ujarnya.
Meski sudah berusia lanjut, Darsih belum mau berhenti membuat sanggul. Hal ini karena sampai hari ini pesanan juga terus datang. Ia mengatakan, sampai kapan pun sanggul akan terus diminati, karena menjadi bagian dari budaya tradisional.
“Tak hanya bagi masyarakat Jawa saja, tapi sudah menjadi kebutuhan semua orang. Ketika seorang perempuan mengenakan busana tradisional misalnya, akan lebih pas bila mereka memakai sanggul. Karena itulah peminat sanggul tidak pernah surut,” pungkasnya.(*)
Laporan Andi Apriyadi, Wartawan Jejamo.com