Jejamo.com – Dari sudut pandang psikologis, kecemasan dianggap sebagai sebuah gangguang jiwa. Orang dengan gangguan kecemasan akan mengakibatkan individu berprilaku menyimpang, bahkan memicu tindakan bunuh diri jika terlalu berlebihan.
Namun, di satu sisi kecemasan sebenarnya merupakan reaksi normal dan bahkan ada dampak positifnya, kecemasan dianggap sebuah sinyal ketahanan diri ketika manusia berada pada situasi sulit.
Bicara tentang kecemasan akut dengan potensi menjurus ke tindakan bunuh diri, tentunya suatu hal yang sangat berbahaya. Hal ini mengundang beberapa pakar untuk meneliti tentang kecemasan tersebut.
Hal ini dilakukan juga oleh seorang ilmuan tanah air yang bekerja di University of California di Irvine, Amerika Serikat, Taruna Ikrar.
Dirinya bersama timnya membuka gerbang untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh orang dengan kecemasan akut.
Riset Taruna beserta ilmuwan lain yang dipublikasikan di Journal of Neurophysiology pada 6 April 2006 lalu membuka kemungkinan untuk mengontrol kecemasan dengan teknologi.
Taruna dan rekan meneliti 12 orang pasien dengan kecemasan berlebihan. Mereka memindai otak para pasien dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk menentukan area yang bertanggung jawab pada kecemasan.
Selanjutnya, dengan hewan percobaan berupa tikus putih, Taruna dan rekan mengidentifikasi secara spesifik daerah dalam amygdala yang bertanggung jawab pada kecemasan dan memetakannya.
Penelitian mengungkap, area dalam amygdala yang bertanggung jawab pada kecemasan berlebihan pada manusia disebut Bed Nucleus of the Stria Terminals (BNST).
“Amygdala bisa diibaratkan persimpangan jalan di otak kita. Semua sinyal lewat. Sementara BNST adalah pusat dari persimpangan itu,” kata Taruna seperti dikutip dari kompas.com, Rabu, 27/4/2016.
Bukan hanya mengidentifikasi bagian yang bertanggung jawab pada kecemasan. Taruna mengatakan, “Kami berhasil memetakan secara detail bagaimana reaksi atau berlangsungnya sinyal yang memicu kecemasan.”
Salah satu yang ditemukan adalah adanya penghambatan lokal pada ujung saraf yang terkait dengan pelepasan hormon kortikotropin (CRH).
Apabila ujung saraf yang terkait CRH menerima dan meneruskan sinyal, maka akan terjadi proses yang berujung pada pelepasan hormon stress.
CRH akan memicu pelepasan hormon adrenokortikotropik yang akan memerintahkan kelenjar adrenal pada ginjal untuk melepaskan hormon stress dan kecemasan bernama kortisol.
Optogenetik yang digunakan Taruna di satu sisi berguna untuk penelitian struktur dan fungsi saraf. Di sisi lain, optogenetik juga berpeluang untuk pengobatan.
Data-data dalam riset Taruna menunjukkan, penghambatan pada area BNST bisa dikontrol. “Artinya kami sebenarnya bisa mengontrol proses stress, cemas, dan ketakutan pada subyek penelitian kami,” kata Taruna.
Dalam penelitian, manipulasi kontrol kecemasan memang masih dilakukan pada hewan. Namun di masa depan, kontrol kecemasan bisa diaplikasikan pada manusia.
“Tapi itu masih jauh. Masih banyak yang harus diteliti. Banyak tahap yang harus dilalui untuk sampai uji klinis pada manusia,” katanya.
Yang dibayangkan, kontrol kecemasan manusia pada masa depan akan melibatkan teknologi cahaya, teknologi nano, serta neurosains.
Perangkat kecil yang membuat sel saraf peka cahaya bisa diimplan pada manusia, dikirimkan lewat pembuluh darah dengan cara disuntikkan.
Mungkin kontrol kecemasan terdengar mengerikan, seolah-olah seperti mampu membuat manusia hidup tanpa rasa cemas. Namun bagi orang dengan kecemasan akut, pendekatan optogenetik mungkin berguna.
Bukan cuma pada kecemasan, optogenetik digadang juga bisa menyelesaikan masalah psikiatri lain seperti depresi akut dan penyakit lain seperti Parkinson.
Orang dengan masalah psikiatri seringkali mendapatkan stigma negatif. Optogenetik berpeluang mengatasi masalah yang menjadi sumber stigma.(*)