Jejamo.com, Tanggamus – Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah kisah yang dialami Hamidi Bin Dulamin (55), warga Pekon Napal, Kecamatan Kelumbayan, Kabupaten Tanggamus. Ia kehilangan kebun cengkih seluas 6 hektare dan uang sebesar Rp6 juta untuk membayar orang yang mengaku bisa mengurus masalahnya.
Hamidi diduga menjadi korban mafia tanah. Kepada Jejamo.com, dia bercerita bahwa dulu pernah ada pembuatan badan jalan yang melewati kebun miliknya di wilayah pekon setempat. Oleh pelaksana, tanah yang terkena badan jalan itu dibayar Rp10 ribu per meter. Kemudian di tahun yang sama, si penghubung meminta tambahan pembelian bidang tanah hamparan bebatuan miliknya yang masih berbatasan dengan kebun cengkih miliknya juga senilai Rp20 juta. Transaksi dilakukan dengan seorang calo bernama Muzakir, dengan surat jual beli tanah ditandatangani kepala pekon setempat.
Kemudian pada 2018 Hamidi kembali menjual sebagian tanah kebun tersebut yang terletak di atas tebing kepada Haji Darman, pengusaha asal Bandar Lampung, senilai Rp250 juta, dengan penghubung yang sama yakni Muzakir. Transaksi dan penandatanganan surat jual beli dilakukan di rumah Haji Darman, disaksikan Diaudin warga Pekon Napal dan diketahui keluarganya.
Setelah dua kali dijual oleh Hamidi, lahan bagian bawah dan atas yang kondisinya berbatu, maka tersisalah sebidang kebun cengkih yang tak mengandung batu.
Kemudian pada 2022 lalu perusahaan Calita, anak perusahaan Salim Grup, datang untuk membeli lahan di area perkebunan setempat dengan nilai Rp30 ribu per meter.
Tergiur dengan harga yang ditawarkan perusahaan, Hamidi dan warga setempat membuat surat sporadik sebagai salah satu syarat jual beli. Namun, imbuh Hamidi, saat surat keterangan kepemilikan tanah ditawarkan kepada perusahaan melalui penghubung setempat, perusahaan meminta sertifikat sebagai syarat jual belinya.
Menurut Hamidi petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengatakan lahan kebun miliknya overload saat akan didaftarkan dalam program Proyek Operasional Nasional Agraria (Prona). “Dan saya tetap menggarapnya karena itu milik saya dan belum pernah saya perjualbelikan. Selama ini juga tidak ada yang komplain dengan saya,” katanya.
Saleh, pemilik kebun yang berbatasan dengan Hamidi, membenarkan kalau kebun tersebut sudah dua kali diperjualbelikan. “Di bagian bawah dan atas yang berbatasan dengan kebun saya, tapi selebihnya saya tidak tahu,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Pekon Napal, Aminurasyid, mengatakan, Hamidi sudah empat kali melakukan jual beli tanah kebun miliknya. Dua kali dengan Bambang Kurniawan mantan Bupati Tanggamus di 2017, kemudian kepada Haji Abdurahman saat di masa Penjabat Kepala Pekon Napal saat itu. Aminurasyid mengaku tidak mengetahui detail titik-titiknya lokasinya karena pihak pekon tidak ikut turun ke lapangan dan hanya antara saksi-saksi saja.
“Dalam setiap transaksi pekon tidak menerbitkan surat jual beli, pekon hanya mengeluarkan surat sporadik sebagai syarat pengurusan ke notaris oleh pihak pembeli. Adapun berapa nilai transaksinya saya tidak tahu,” ujarnya. Aminurasyid menjelaskan ada tiga pembeli yang masuk sebelumnya.
Sementara terkait tidak lagi diterimanya sporadik sebagai syarat jual beli, menurut Aminurasyid lantaran berdasarkan peta perusahaan tanah milik Hamidi sudah masuk area perusahaan tersebut.
Saat ditanya apakah pihak pekon masih menyimpan arsip sporadik, Aminurasyid mengatakan semuanya sudah hilang. ia meminta Jejamo.com menghubungi lawyer perusahaan karena khawatir mereka tersingung dengan pemberitaan. “Selama ini mereka sudah menganggap semuanya selesai dan tidak ada masalah,” ucapnya.(*) (Zairi)