Kamis, Desember 19, 2024

Top Hari Ini

Terkini

Diskusi Soal Berita Kekerasan Seksual, Ini Pendapat Ketua AJI Bandar Lampung Padli Ramdan

Ketua AJI Bandar Lampung Padli Ramdan. | Andi Apriyadi

Jejamo.com, Bandar Lampung – Pemberitaan pemerkosaan atau kejahatan seksual masih menjadi perdebatan, apakah boleh diberitakan secara mendetail oleh media massa atau tidak. Namun sebagian kelompok ada yang mendukung tidak boleh.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung Padli Ramdan mengatakan, ada kelompok yang berpendapat menulis berita secara umum dan general terkait berita pelecehan seksual tidak boleh secara detail atau merahasiakan identitas korban.

“Kalau berita tidak detail, mungkin publik tidak dapat informasi yang utuh. Jadi masyarakat dan penegak hukum tidak tergerak dalam penuntasan kasus-kasus kejahatan seksual,” ujarnya usai diskusi di Sekretariat AJI Bandar Lampung, Sabtu, (23/3/2019.

Menurut Padli, jika pemberitaan mendeskripsikan lebih detail dan itu tidak terlalu vulgar seperti pemberitaan di majalah-majalah kuning.

“Itu masih ada yang memperbolehkan supaya publik dapat gambaran tingkat kejahatan yang dilakukan separah itu sehingga publik terdorong,” paparnya.

Lanjut jurnalis Lampung Post ini, ada juga yang mengatakan bahwa pemberitaan kekerasan seksual itu diperlukan pendeskripsian yang detail diperbolehkan.

“Asalkan tujuannya untuk membangun kepedulian publik dan penegak hukum supaya bergerak, itu tidak jadi masalah,” tuturnya.

“Tapi kalau tujuannya sekadar mengejar trafik media siber dan sosial supaya netizen baca serta hanya ingin memenuhi rasa ingin tahu pembaca, hal itu yang tidak dibenarkan,” lanjutnya.

Padli mengungkapkan, beberapa media terutama situs berita masih ada yang keliru terkait kasus-kasus kejahatan seksual yang dilakukan keluarga korban sendiri. Seperti anak jadi korban tetapi foto orangtuanya tetap dipajang secara detail sehingga orang tahu ini anak siapa.

“Termasuk misalnya foto korban di blur tapi sekolahnya disebutkan atau alamatnya dilengkapi. Jadi keterangan identitas korban sebaiknya dihindari, tapi itu masih terjadi di media siber,” urainya.

Dia berharap jurnalis mempunyai keberpihakan lebih terhadap korban. Sebab, korban ini orang yang harus dibela, apalagi kasus kekerasan terjadi di lingkungan kampus.

“Jadi kasus yang di kampus banyak korban yang justru mendapat perlakuan diskriminasi, kemudian tidak dapat pendampingan dari kampus. Tapi ini justru pelaku yang pendampingan dari kampus. Itu kan salah,” jelasnya.

Dia menambahkan, media juga harus mengkritisi kampus-kampus agar permasalahan sepeti tidak terjadi lagi dan ia ingin media mendorong masyarakat dan penegak hukum serta lembag yang menangani mempunyai kepedulian.

“Sehingga kita bisa memutuskan kasus kejahatan seksualnya,” pungkasnya. [Andi Apriyadi]

Populer Minggu Ini