Jejamo.com, Bandar Lampung – Pagi itu, tepat jarum jam menuju pada angka delapan. Sebuah pintu yang berjejeran jeruji besi dibuka seorang yang gagah dan memakai baju berwarna abu-abu dan bercelana hitam panjang lengkap dengan topi yang mencerminkan tugas yang ia jalankan.
Ia berada di sekerumunan sekitar dua puluh tiga orang yang berbaris menuju keluar pintu untuk melakukan aktivitas yang tidak dapat dilakukan di dalam kurungan. Mereka diberi waktu untuk membersihkan badan dan bersegera untuk menuju ke sebuah meja yang di atasnya sudah tersedia makanan.
Makanan yang hanya berupa nasi dan rebusan-rebusan lauk itu tepat di hadapan matanya. Semangkuk sayur tanpa penyedap rasa itu seolah-olah menggambarkan keadaan suasana pada saat itu. Pikirnya, ia tidak punya pilihan lain selain memakan makanan itu atau mati dengan keadaan lapar.
Mereka pun diberi waktu untuk sekadar berbincang-bincang dengan seorang yang memiliki nasib yang sama, hanya saja kasus yang berbeda, tetapi tetap dalam satu konteks kriminalitas.
Selang waktu berlalu, seruan azan berkumandang terdengar di telinganya untuk segera bergegas menghadap Sang Pencipta.
Katanya, dengan keseharian yang begitu, tidak semua orang jera atas kesalahan yang mereka lakukan. Ada orang yang senang berada di sana. Ada orang merasa biasa saja. Dan sedikit orang yang merasa jera atas apa yang telah menimpanya.
Saat jarum panjang menuju angka empat dan jarum pendek menuju angka enam, ia dan kerumunan it upun bersegera kembali ke sebuah pintu jeruji besi yang sudah terbuka menunggu mereka masuk.
Sambil menunggu senja, pun membaringkan tubuhnya dengan beralaskan karpet yang terbuat dari bahan plastik. Ia meletakkan kedua tangan di bawah kepala sebagai pengganjalnya.
Ia berpandangan ke langit-langit yang menjadi tempat mencurahkan penyesalannya dan menikmati buruknya malam tanpa bintang-bintang di atas yang biasanya mudah terlihat kasatmata.
Matahari pun terbenam dan kumandang azan terdengar lagi. Ia bergegas untuk berjamaah menghadapkan diri kepada Sang Khaliq. Ia tak henti-henti menengadahkan tangan, meratapi penyesalannya itu.
Waktu pun memisahkannya dari Sang Pencipta untuk kembali ke dalam tempat. Ia digiring sampai pada tempat dan seorang petugas menutup kembali pintu itu dan menggemboknya.
Ia pun memegang dua buah jeruji besi itu dengan mata yang berkaca-kaca. Dalam hatinya ia bertanya, “kenapa aku bisa berada ditempat berdosa seperti ini? Bukankah seharusnya aku berada di tengah-tengah sepantaranku yang menggunakan almamater dan berada di gudang ilmu?”
Seiring berjalannya waktu, ia menikmati kesehariannya di sana dengan terus meratapi penyesalannya dan meminta ampun kepada Sang Pencipta atas apa yang pernah ia lakukan sampai masa pengurungannya selesai.(*)
Laporan Fitri Febriyanti, Kontributor Jejamo.com